Hukum asal air adalah suci, sampai berubah warna, rasa atau aromanya dengan najis yang telah menghinggapinya.
Adapun jika air berubah (warna, rasa atau aromanya) karena sesuatu yang suci -seperti karatan- maka ia tetap pada hukum sucinya, selama nama airnya tetap ada.
Syekh Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata:
“Masalah berubahnya air sedikit atau banyak karena sesuatu yang suci, seperti; tumbuhan (dipakai mencuci), sabun, daun bidara, debu, adonan, dan lain sebagainya yang bisa merubah air, seperti wadah jika padanya terdapat bekas daun bidara, dan ditaruh padanya air sehingga bisa merubah air, meskipun ia tetap sebagai air, dalam kondisi ini ada dua pendapat terkenal dari pendapat para ulama: salah satunya: tidak boleh digunakan untuk bersuci, menurut madzhab Maliki, Syafi’i, Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau; karena air ini bukanlah sebagai air umum/murni, maka tidak masuk pada firman Allah:
فلم تجدوا ماء
“...Sedangkan kalian tidak mendapatkan air”.
Kemudian, para penganut pendapat ini memberikan pengecualian, sebagiannya disepakati antar mereka dan sebagian lainnya masih diperdebatkan: jika perubahan air ini terjadi pada asal penciptaannya atau disebabkan karena adanya kesulitan untuk menghindarkannya, maka air ini tetap menjadi suci dan mensucikan sesuai dengan kesepakatan mereka, dan jika perubahan air ini terjadi karena minyak, kapur barus, atau yang lainnya, maka ada dua pendapat terkenal: jika perubahannya sedikit saja, lalu apakah dirasa jijik atau tidak, atau dibedakan antara bau atau tidak ?, ada tiga pendapat.
Pendapat kedua: tidak ada perbedaan antara berubah karena asal penciptaan atau yang lainnya, dan juga dengan hal yang sulit dihindarkan darinya, atau dengan hal yang tidak sulit dihindarkan darinya, maka selama masih dinamakan air dan yang lainnya tidak mendominasi kecuali ia sebagai air, maka ia tetap suci dan mensucikan. Sebagaimana menurut madzhab Abu Hanifah, Ahmad dalam riwayat lainnya, dan inilah yang dianut secara tekstual pada banyak jawaban beliau.
Dan pendapat inilah yang benar”. Selesai. Dengan sedikit perubahan.
( Majmu’ Fatawa: 21/24-25)
Syeikah As Sa’diy -rahimahullah- berkata:
“Setiap air yang turun dari langit, atau yang keluar dari mata air di bumi, maka ia suci dan mensucikan, mensucikan hadats dan najis/kotoran, dan jika ia telah berubah warna, rasa, atau aromanya dengan sesuatu yang suci, sebagaimana sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لا يُنَجِّسُهُ شَيءٌ رواه أهل السنن ، وهو صحيح .
“Sungguh air ini suci dan mensucikan, tidak ada sesuatupun yang bisa menjadikannya najis”. (HR. Ahlus Sunan, dan ia adalah shahih)
Dan jika ia merubah salah satu sifatnya karena najis, maka ia menjadi najis, wajib dijauhi”. Selesai.
(Manhaj As Salikin: 1/33)
Syeikh Ibnu Baz -rahimahullah- berkata:
“Jika air itu berubah karena najis maka ia menjadi najis sesuai dengan konsensus para ulama, adapun jika ia berubah karena sesuatu yang lain dari hal-hal yang suci, seperti; cat, bekas samak di wadah dan lain-lain dan apa saja yang jatuh masuk ke air seperti rumput, debu dan lain-lain, maka hal itu tidak menjadikannya najis. Dan tidak bisa mencabut kesuciannya, bahkan ia tetap pada kondisi sebelumnya sebagai air suci dan mensucikan, selama nama air nya tetap ada”. Selesai.
(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 7/29)
Dan berubahnya air karena karat atau yang serupa dengannya, tidak berubah karena najis; karena karat bukan termasuk najis, maka air tersebut tetap pada kesuciannya, perubahannya tidak membahayakan.
Akan tetapi kami nasehatkan untuk tidak diminum; karena bisa jadi akan menyebabkan masalah dan bahaya kesehatan.
Wallahu A’lam