Wadi secara bahasa adalah air putih kental yang keluar setelah buang air kecil.
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan perbedaan antara mani, madzi dan wadi, “Perbedaan antara air mani dan madzi adalah air mani itu kental dan berbau, dan keluar memancar ketika nafsu syahwat sedang kuat. Sedangkan madzi adalah air encer dan tidak berbau seperti bau mani, serta keluar tanpa memancar, dan tidak keluar ketika nafsu syahwat sedang kuat, melainkan keluar ketika nafsu syahwat mereda, dan jika ia mereda hal itu jelas bagi orang tersebut.
Adapun air wadi adalah sari yang keluar setelah kencing berupa titik-titik putih di ujung kencing.
Hal ini mengenai hakikat dari ketiga hal tersebut.
Adapun berkaitan dengan hukum-hukumnya, dalam segala hal, air wadi memiliki hukum yang sama dengan hukum air kencing.
Air madzi agak berbeda dengan air kencing dalam hal hukum bersuci darinya, karena kenajisannya lebih ringan, sehingga cukup dengan menyiramnya, yaitu menyebarkan air ke tempat yang terkena tanpa diperas atau digosok. Begitu pula kemaluan (laki-laki dan perempuan) harus dibasuh, meskipun tidak terkena.
Adapun air mani itu suci. Tempat yang terkena mani tidak perlu dibasuh, kecuali hanya untuk menghilangkan bekas air mani saja. Keluar mani mewajibkan mandi. Sementara air madzi, air wadi dan air kencing semuanya mewajibkan wudhu.”
(Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 11/169).