Jum'ah 17 Syawal 1445 - 26 April 2024
Indonesian

Apakah Disyaratkan Qiyamullail Pada Seluruh Malam Ramadan Untuk Mendapatkan Keutamaannya Di Bulan Ramadan?

Pertanyaan

Saya mempunyai pertanyaan terkait dengan bulan Ramadan, hadits “Siapa yang qiyamullail di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala…” Apakah artinya hal itu harus menunaikan shalat qiyam pada setiap malam Ramadan, kalau meninggalkan satu malam dari 30 malam, apakah gugur hadiah pahala  dan ampunan sebagaimana disebutkan dalam hadits? Apa batasan minimal dan maksimal dalam qiyam waktu malam?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi  wa sallam bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (رواه البخاري، رقم 2009، ومسلم، رقم 759)

“Siapa yang qiyamullail di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap pahala, maka dia akan diampuni dosa-dosa yang lalu.” (HR. Bukhari, no. 2009 dan Muslim, no. 759).

Penyebutan Ramadan secara umum berarti mencakup seluruh malam. Maka yang tampak adalah bahwa pahala qiyamullail  yang dimaksud adalah apabila  dilakukan pada seluruh malamnya.

As-Shon’any rahimahullah mengatakan, “Ada kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah semua malamnya. Orang yang menunaikan sebagian saja, tidak mendapatkan apa yang disebutkan berupa ampunan, itulah kesimpulan yang tampak.” (Subulus Salam, 4/182).

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sabda Nabi, ‘Siapa yang berdiri qiyamullail Ramadan,’ maksudnya adalah di bulan Ramadan. Hal itu mencakup sebulan penuh. Dari awal sampai akhirnya.” (Syarh Bulughul Maram, 3/290).

Siapa yang tidak qiyam pada sebagian malam-malamnya, kalau hal itu ada uzur yang menghalangi dari qiyamnya, maka diharapkan dia mendapatkan keutamaan yang disebutkan dalam hadits.

Dari Abu Musa berkata, Rasulullah sallallahu alaihi  wa sallam bersabda:

 إِذَا مَرِضَ العَبْدُ، أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا   (رواه البخاري، رقم 2996)

“Kalau seorang hamba itu sakit atau bepergian, maka (amalnya) akan dicatat seperti yang biasa dia lakukan dalam kondisi menetap dan sehat.” (HR. Bukhiri, no. 2996).

Dari Aisyah istri Nabi sallallahu alaihi  wa sallam, sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi  wa sallam bersabda:

مَا مِنَ امْرِئٍ تَكُونُ لَهُ صَلَاةٌ بِلَيْلٍ، يَغْلِبُهُ عَلَيْهَا نَوْمٌ، إِلَّا كُتِبَ لَهُ أَجْرُ صَلَاتِهِ، وَكَانَ نَوْمُهُ عَلَيْهِ صَدَقَةً (رواه أبو داود، رقم 1314 وصححه الألباني في إروء الغليل، 2/204)

“Seseorang terbiasa menunaikan shalat malam, kemudian tertidur, maka dia tetap akan dicatat pahala shalatnya dan tidurnya adalah shadaqah untuknya.” (HR. Abu Daud, no. 1314, dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam kitab Irwaul Golil, 2/204).

Sementara kalau dia meninggalkan sebagian malam Ramadan karena malas, yang tampak dari hadits, dia tidak mendapatkan keutamaan yang disebutkan.

Kedua:

Adapun batasan minimal dan maksimal dalam qiyam Ramadan, syariat tidak menentukan bilangan tertentu jumlah rakaat untuk qiyamullail Ramadan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Qiyam Ramadan itu sendiri, Nabi sallallahu alaihi  wa sallam tidak menentukan bilangan tertentu.”

Siapa yang menyangka bahwa qiyam Ramadan itu ada bilangan tertentu dari Nabi sallallahu alaihi  wa sallam, tidak ditambah dan tidak dikurangi, sungguh dia keliru.

Kadang seseorang sedang semangat, maka lebih utama baginya memperpanjang ibadahnya. Tapi kadang tidak semangat, maka yang lebih utama baginya adalah meringkasnya.

Dahulu Shalat Rasulullah sallallahu alaihi  wa sallam pertengahan, kalau diperpanjang berdirinya, maka diperpanjang waktu ruku dan sujudnya. Kalau beliau pendek berdirinya, maka pendek pula rukuk dan sujudnya. Begitulah kebiasaan yang dilakukan dalam shalat-shalat wajib, qiyamul lail, shalat gerhana dan lainnya. (Majmu Fatawa, 22/ 272-273).

Kesimpulannya bahwa qiyam lail tidak ada batasan maksimalnya, sehingga seorang muslim dibolehkan sesuai kehendaknya dalam rakaat shalatnya.

Sementara batas minimal shalat bagi seseorang di waktu malamnya secara umum adalah satu rakaat witir.

Didapatkannya keutamaan qiyam semalaman di bulan Ramadan sekedar ikut shalat bersama imam, layak dikritisi. Karena syariat memberikan anjuran khusus untuk melaukan qiyam secara khusus  yang seharusnya kualitasnya melebihi malam-malam di bulan lainnya. Begitulah keadaan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para salafushaleh. Bahkan hingga disyariatkan shalat malam bersama imam secara rutin di masjid, padahal tidak disyariatkan pada bulan-bulan lainnya, juga terdapat riwayat anjuran agar makmum bersabar untuk shalat Bersama imam hingga selesai seluruhnya.

Dari Abu Zar berkata, Rasulullah sallallahu alaihi  wa sallam bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ (رواه أبو داود، رقم 1375 و الترمذى، رقم 806 وقال : هذا حديث حسن صحيح )

“Sesunguhnya seseorang ketika shalat bersama imam sampai selesai, maka dihitung sebagai shalat satu malam.” (HR. Abu Daud, no. 1375, Tirmizi, no. 806 dan berkata, ‘Hadist ini Hasan Shahih)

Silahkan merujuk jawaban soal no. 153247, sebagai tambahan.

Adapun kalau shalat seorang diri yang lebih utama adalah menunaikan shalat seperti apa yang dilakukan oleh Nabi sallallahu alaihi  wa sallam sebelas rakaat dengan khusyu agar terwujud shalat dalam kondisi keimanan dan penuh harap pahala.

Dari Abu Salamah bin Abdurrahman, beliau bertanya kepada Aisyah radhiallahu anha, “Bagaimana shalatnya Rasulullah sallallahu alaihi  wa sallam di bulan Ramadan, maka beliau menjawab:

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا (رواه البخاري، رقم 1147، ومسلم، رقم 738)

“Rasulullah sallallahu alaihi  wa sallam tidak pernah menambah rakaat shalat, baik di bulan Ramadan maupun bulan-bulan lainnya, dari sebelas rakaat, beliau shalat empat rakaat, jangan ditanya bagus dan panjanganya. Kemudian shalat lagi empat rakaat. Jangan ditanya bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat.” (HR. Bukhari, no. 1147 dan Muslim, no. 738).

Kalau lebih dari itu, tidak mengapa. Untuk tambahan faedah silahkan lihat jawaban soal no. 9036 .

Wallahu a’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam