Kamis 18 Ramadhan 1445 - 28 Maret 2024
Indonesian

Beda Antara Mani Dengan Madzi

Pertanyaan

Biasanya ketika bangun tidur pada pagi hari saya mendapati cairan membasahi celana dalam. Jangan kira saya mimpi basah atau buang air kecil, akan tetapi saya biasa mengeluarkan madzi atau cairan kental setiap kali bangun dari tidur pada pagi hari. Biasanya saya mencuci pakaian dan celana dalam saya disebabkan cairan itu. Kemudian saya baca di sebuah buku bahwa jika cairan itu tidak mengandung sperma dan hanya sekedar madzi saja maka tidak perlu mandi janabah, cukup berwudhu' saja jika hendak shalat. Jika memang demikian, bagaimanakah dengan pakaian yang terkena madzi itu? Saya perhatikan madzi itu juga keluar pada saat sempit dan sibuk padahal saya telah menjauhi seluruh perkara yang dapat memancing keluarnya madzi!

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

beda antara madzi dengan mani adalah sebagai berikut:

 

1-Bentuk dan sifatnya.
Mani lelaki berbentuk cairan pekat berwarna putih, adapun mani wanita encer berwarna kuning. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu Sulaim Radhiyallahu 'Anha bahwa ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tentang seorang wanita yang bermimpi dalam tidur sebagaimana yang dialami kaum pria (mimpi basah).

Rasul bersabda: "Jika ia melihat keluarnya mani maka wajib mandi."
Dengan malu-malu Ummu Sulaim Radhiyallahu 'Anha bertanya: "Apakah seorang wanita juga mengalaminya (mimpi basah)?"
Rasul menjawab: "Kalau begitu bagaimana mungkin seorang anak bisa mirip ibunya? Sesungguhnya mani pria itu pekat berwarna putih dan mani wanita encer berwarna kuning, siapa saja di antara keduanya yang lebih awal atau lebih dominan maka kemiripan akan condong kepadanya."
Muttafaqun 'Alaihi (Shahih Muslim No:469)
Dalam Syarah Shahih Muslim (III/222), berkaitan dengan sabda nabi: Mani pria pekat berwarna putih, mani wanita encer berwarna kuning, Imam An-Nawawi berkata:
"Hadits ini merupakan kaidah yang sangat mulia dalam menjelaskan bentuk dan sifat mani. Itulah sifatnya dalam keadaan biasa dan normal. Alim ulama berkata: "Dalam keadaan sehat mani lelaki itu berwarna putih pekat memancar sedikit demi sedikit saat keluar. Biasa keluar bila dibarengi dengan syahwat dan sangat nikmat saat keluarnya. Setelah keluar ia akan merasakan lemas dan akan mencium bau seperti bau mayang kurma, yaitu seperti bau adonan tepung. Warna mani bisa berubah disebabkan beberapa hal di antaranya: saat sedang sakit, maninya akan berubah encer dan kuning, atau kantung testis melemah sehingga mani keluar tanpa dipacu oleh syahwat, atau karena terlalu sering bersenggama sehingga warna mani berubah merah seperti air perasan daging dan kadangkala yang keluar adalah darah.

Beberapa karakteristik yang dijadikan patokan dalam mengenal mani adalah:

1-Memancar akibat dorongan syahwat disertai rasa lemah setelahnya.
2-Baunya seperti bau mayang kurma sebagaimana yang telah dijelaskan.
3-Keluarnya dengan memancar sedikit demi sedikit.

Salah satu dari ketiga karakteristik tersebut cukup untuk menentukan apakah yang keluar itu mani ataukah bukan. Jika tidak ditemukan salah satu dari ketiga karakter di atas maka tidak boleh dihukumi sebagai mani karena dengan begitu hampir bisa dipastikan bahwa ia bukan mani. Ini berkaitan dengan mani pria. Adapun mani wanita warnanya kuning dan encer. Kadangkala warnanya putih bila kekuatannya melebihi kadar rata-rata.

Ada dua karakteristik yang jadi patokan dalam menentukan mani wanita.
1-Baunya seperti bau mani pria.
2-Nikmat saat mengeluarkannya dan merasakan lemah setelah itu.

Adapun madzi, hanyalah cairan lekat berwarna putih. Biasanya keluar disebabkan mengkhayalkan hubungan intim atau terlintas keinginan berhubungan intim. Umumnya keluar tanpa dorongan syahwat, tidak memancar dan tidak disertai rasa lemah setelah mengeluarkannya. Keluarnya madzi biasanya dialami kaum wanita dan kaum pria, namun dalam hal ini kaum wanita lebih sering mengalaminya."
Silakan lihat Syarah Shahih Muslim karangan Imam An-Nawawi III/213.

2-Konseksuensi hukum yang timbul karena mengeluarkan mani atau madzi.
Orang yang mengeluarkan mani diwajibkan mandi janabah, baik maninya keluar saat sadar sebab bersenggama atau sebab lainnya ataupun saat tidur (mimpi basah). Adapun orang yang mengeluarkan madzi cukup berwudhu' saja.

Dalilnya riwayat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu ia berkata:
"Saya adalah seorang pria yang sering mengeluarkan madzi. Sayapun menyuruh Miqdad untuk menanyakan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Rasulullah berkata: "Cukup berwudhu' saja!"
Muttafaqun 'alaihi, matan di atas adalah riwayat Al-Bukhari.

Dalam kitab Al-Mughni (I/168) Ibnu Qudamah berkata:
"Ibnul Mundzir mengatakan: Ahli ilmu sepakat bahwa keluarnya kotoran dari dubur, keluarnya air seni dari kemaluan, keluarnya madzi dan keluarnya angin dari dubur menyebabkan hadast serta membatalkan wudhu'.

3-Konsekuensi hukum berkenaan dengan status thaharah dan status kenajisannya.
Menurut pendapat ulama yang terpilih mani statusnya suci.

Dalilnya adalah riwayat 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha ia berkata:

"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam biasanya mencuci pakaiannya yang terkena mani baru kemudian berangkat menuju shalat dengan mengenakan pakaian tersebut sementara aku masih bisa melihat bekas bilasan pada pakaian tersebut."
Muttafaqun 'alaihi.

Dalam riwayat Muslim disebutkan:

"Aku pernah mengerik bekas mani yang tersisa pada pakaian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu beliau kenakan untuk shalat."

Dalam lafal lain berbunyi:

"Aku pernah mengerik mani yang mengering pada pakaian beliau dengan kuku."

Bahkan diriwayatkan secara shahih bahwa beliau membiarkannya saja mani yang masih basah (belum mengering). Cukup beliau mengusapnya dengan batang kayu atau sejenisnya. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ahmad (VI/243).
Diriwayatkan dari 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha bahwa ia berkata:

"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah menghilangkan bekas mani pada pakaiannya dengan kayu idzkhir kemudian mengerjakan shalat dengan mengenakannya. Bila mani itu mengering beliau gosok kemudian mengerjakan shalat dengan mengenakannya."
(H.R Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih beliau dan dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa' I/197)

Adapun madzi statusnya najis berdasarkan hadits Ali Radhiyallahu 'Anhu di atas tadi.

Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memerintahkan beliau untuk mencuci zakar dan biji pelir lalu berwudhu'. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu 'Awanah dalam Al-Mushtakhrij.

Dalam kitab At-Talkhis Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata:
"Sanadnya bersih tidak ada cacatnya. Oleh sebab itu, madzi statusnya najis wajib mencuci zakar dan buah pelir karena mengeluarknnya serta membatalkan wudhu'."

Status pakaian yang terkena mani dan madzi.
Menurut pendapat ulama yang menyatakan mani itu suci maka pakaian yang terkena mani tidaklah najis.

Seseorang boleh mengerjakan shalat dengan menggunakan pakaian tersebut.

Dalam kitab Al-Mughni (I/763) Ibnu Qudamah berkata:
"Dianjurkan agar mengerik mani yang melekat pada pakaian meskipun kita telah menyatakan bahwa mani itu suci. Namun tetap sah shalat dengan mengenakan pakaian yang terkena mani sekalipun belum dikerik."
Adapun madzi, maka cukuplah dengan memercikkan air pada pakaian yang terkena, karena sangat menyulitkan bila harus dicuci.

Dalilnya adalah riwayat Abu Dawud dalam Sunannya dari Sahal bin Hanif Radhiyallahu 'Anhu bahwa ia berkata:
"Saya merasakan kesulitan yang sangat disebabkan sering mengeluarkan madzi sehingga saya berulangkali mandi. Lalu saya tanyakan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Beliau menjawab: "Cukup bagimu berwudhu'!"
"Wahai Rasulullah, bagaimana dengan pakaian yang terkena madzi?" tanyaku lagi.
"Cukup engkau ambil seciduk air lalu percikkan tempat yang diyakini terkena madzi" jawab beliau.
H.R At-Tirmidzi, ia berkata: Hadits ini hasan shahih, kami tidak mengetahui hadits tentang madzi dari Muhammad bin Ishaq kecuali riwayat ini.
Penulis kitab Tuhfatul Ahwadzi (I/373) berkata:
"Hadits di atas merupakan dalil bahwa bila madzi mengenai pakaian maka cukup dipercikkan air pada bagian yang terkena dan tidak perlu dicuci. Wallahu a'lam.

Refrensi: Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid