Kamis 18 Ramadhan 1445 - 28 Maret 2024
Indonesian

BERJIMAK DENGAN ISTERI SETELAH TAHALLUL AWAL SEBELUM THAWAF IFADHAH

Pertanyaan

Seorang jamaah haji berjimak dengan isterinya setelah melontar jumrah Aqabah dan menggundul kepalanya, lalu dia tahallul dari ihramnya akan tetapi belum melakukan thawaf ifadhah. Apakah hajinya sah? Apakah dia wajib membayar dam? Jika dia wajib mengeluarkan fidyah, apakah wajib disembelih di Mekah atau boleh disembelih di mana saja dan kapan saja? Mohon penjelasannya berdasarkan Kitab dan Sunah. Jazaakumullah khair.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Siapa yang  berjimak dengan isterinya setelah tahallul awal dan sebelum thawaf Ifadhah, maka hajinya tidak rusak dengan hal tersebut. Akan tetapi dia telah melakukan dosa, wajib baginya bertaubat dan istighfar, lalu keluar dari tanah haram menuju tanah halal untuk memperbaharui ihramnya, lalu thawaf ifadhah. Disamping itu dia harus menyembelih seekor kambing dan dibagikan kepada kaum fakir di tanah haram dan dirinya tidak boleh makan sedikitpun dari daging tersebut.

Jika isterinya ihram dan suka rela melakukan jimak tersebut, maka dia juga diharuskan melakukan hal yang sama. Namun jika dirinya dipaksa, maka tidak ada kewajiban apa-apa baginya.

Disebutkan dalam Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah, 2/192,

"Mereka sepakat bahwa jimak setelah tahallul awal tidak merusak haji. Namun terjadi perbedaan pendapat dalam masalah kewajibannya. Kalangan mazhab Hanafi, Syafiiyyah dan Hambali berpendapat bahwa dia wajib menyembelih seekor kambing. Mereka berkata tentang dalilnya, "Pelanggarannya dianggap ringan, karena selain masalah wanita sudah dibolehkan."

Adapun pendapat Imam Malik, juga salah satu pendapat dalam kalangan mazhab Syafii dan Hambali, wajib baginya menyembelih seekor onta. Al-Baji berdalil bahwa pelakunya telah melakukan pelanggaran berat di tanah haram. Imam Malik dan ulama kalangan mazhab Hambali mewajibkan orang yang melakukan pelanggaran ini setelah tahallul awal dan sebelum melakukan thawaf Ifadhah, dia harus keluar ke tanah halal untuk melakukan umrah. Berdasarkan ucapan Ibnu Abbas tentang hal tersebut. Sedangkan ulama kalangan mazhab Hanafi dan Syafii tidak mewajibkan hal tersebut."

Syekh Muhamad bin Ibrahim rahimahullah berkata,

"Berjimak setelah tahallul tidak merusak haji. Apakah hajinya ifrad atau qiran. Akan tetapi dianggap merusak ihramnya saja. Artinya tidak sah baginya thawaf Ifadhah sebelum dia keluar ke tanah halal, lalu melakukan ihram, kemudian masuk kembali ke Mekah lalu Thawaf Ifadhah dalam keadaan ihram yang sah, agar ihramnya terlaksana di tanah halal dan tanah haram. Namun dia wajib menyembelih seekor kambing di tanah haram dan memberi makan orang miskin di sana serta tidak boleh baginya memakan dagingnya sedikitpun. Bagi isteri diwajibkan menyembelih seekor kambing yang lain apabila dia melaukannya secara sukarela. Jika dia dipaksa, maka tidak ada kewajiban apa-apa baginya."

(Fatawa wa Rasail Muhamad bin Ibrahim, 5/203-204)

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya, "Seseorang suami menjimak isterinya sebelum melakukan thawaf Ifadhah, sementara dia telah melontar jumrah dan menggundul kepalanya. Apa ketentuan baginya?"

Beliau menjawab, "Tidak ada kewajiban baginya kecuali dia harus menyembelih fidyah untuk disedekahkan kepada kaum fakir di tanah haram. Dan dia harus memulai ihram lagi dari tanah halal, lalu thawaf dalam keadaan ihram."

(Liqa Bab Maftuh, 90/17)

Jika dia tidak keluar ke tanah halal untuk memperbarui ihramnya, kita berharap thawafnya tetap sah.

Syekh Ibn Baz rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang belum thawaf Ifadhah, lalu dia kembali ke negerinya dan menjimak isterinya. Apa hukum baginya?

Beliau menjawab, "Dia harus bertaubat kepada Allah Ta'ala, dan dia harus menyembelih seekor sembelihan (kambing) di Mekah untuk dibagikan kepada fakir di sana. Diapun harus kembai ke Mekah untuk thawaf Ifadhah. Karena menjimak isterinya sebelum thawaf Ifadhah itu tidak boleh dan dia harus membayar  dam. Yang benar adalah bahwa dia harus menyembelih seekor kambing, atau sepertujuh onta atau sapi." Selesai

(Majmu Fatawa Ibnu Baz, 17/180).

Wallahua'lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam