Mengenai masalah biaya rumah tangga antara suami dan istri yang sama-sama bekerja dan mencari nafkah, sebaiknya diselesaikan dengan jalan Musalahah (kompromi) dan menghindari perselisihan.
Namun dari sisi kewajiban, hal ini berbeda, dan perinciannya adalah sebagai berikut :
- Jika suami mensyaratkan sejak awal kepada Anda bahwa biaya rumah tangga ditanggung bersama, dan kalau tidak, maka ia tidak mengizinkan Anda bekerja, maka kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلَّا شَرْطاً حَرَّمَ حَلَالًا، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.”
Beliau juga bersabda,
إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوطِ أَنْ يُوفَىٰ بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ
“Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk dipenuhi adalah syarat yang dengan itu kalian menghalalkan kemaluan (pernikahan).”
Jika memang ada syarat di antara kalian berdua, maka kalian wajib memenuhinya.
- Jika tidak ada syarat apa pun, maka seluruh nafkah rumah tangga wajib ditanggung oleh suami. Istri tidak dibebani kewajiban menanggung biaya rumah tangga. Suamilah yang memberikan nafkah. Allah Azza wa Jalla berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.” (QS. At-Thalaq : 7).
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda,
وَعَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Kewajiban kalian adalah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka (istri-istri kalian) dengan cara yang baik.”* (HR. Muslim)
Maka kewajiban nafkah ada pada suami. Dialah yang memenuhi kebutuhan rumah dan mengurus urusan rumah tangga untuk dirinya, istrinya, dan anak-anaknya. Adapun penghasilan istri adalah miliknya, dan gajinya juga miliknya, karena itu merupakan imbalan atas pekerjaan dan jerih payahnya. Suami telah menikahinya dengan kondisi itu dan tidak mensyaratkan agar biaya rumah ditanggung oleh istri, setengahnya, atau semacamnya. Kecuali jika sang istri rela memberikan sebagian dari gajinya dengan kerelaan hati, maka hal itu boleh. Allah Ta’ala berfirman,
فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا
“Apabila mereka (para istri) dengan rela hati memberikan kepadamu sebagian dari harta itu, maka makanlah (gunakanlah) dengan senang lagi menyenangkan.” (QS. An-Nisa’ : 4).
Namun, jika sejak awal ada kesepakatan seperti yang dijelaskan sebelumnya, maka kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka.
Saya menasihatkan agar Anda bersedia memberikan sebagian gaji Anda kepada suami Anda untuk menyenangkan hatinya dan sebagai solusi dari perselisihan, serta menghilangkan permasalahan, sehingga kalian dapat hidup dengan tenang, damai, dan tenteram. Maka, hendaklah kalian bersepakat atas sesuatu di antara kalian, misalnya setengah gaji, sepertiga, seperempat, atau semacamnya, sehingga masalah dapat terselesaikan dan perselisihan berganti dengan kasih sayang, kenyamanan, dan ketenteraman. Atau, suami Anda berlapang dada dan rela dengan apa yang Allah tetapkan baginya, lalu ia menunaikan kewajiban nafkah sesuai kemampuannya, serta membiarkan seluruh gaji Anda untuk Anda dan tidak mengambilnya. Namun jika hal itu tidak memungkinkan, maka tidak mengapa menempuh jalur hukum dengan mengajukan perkara ke pengadilan di negeri tempat kalian tinggal, dan keputusan pengadilan syariat Insya Allah sudah mencukupi. Semoga Allah memberikan taufik kepada semua pihak.