Siapa yang menisbatkan kepada jumhur tentang bolehnya membuka wajah, dan menampakkan perhiasan, maka ia keliru. Bahkan jumhur berpendapat harus menutup wajah, baik wajah itu aurat ataukah bukan.
Penjelasan Madzhab Jumhur Mengenai Menutup Wajah Perempuan dengan Cadar dan Maksud dengan Perhiasan yang Boleh Ditampakkannya
Pertanyaan: 263354
Saya mempunyai pertanyaan tentang pendapat (madzhab) Jumhur mengenai aurat perempuan. Saya mendengar salah satu syaikh mengatakan, “Pendapat (madzhab) Jumhur adalah bahwa perempuan diperbolehkan untuk membuka wajah dan kedua telapak tangannya, serta segala perhiasan yang terdapat pada keduanya.”
Yang saya ketahui, ini bukanlah pendapat jumhur, namun pendapat mereka adalah diperbolehkannya membuka wajah dan tangan tanpa perhiasan. Mereka tidak membolehkan memakai perhiasan, kecuali yang diriwayatkan dari sebagian salaf mengenai pengecualian cincin, celak, dan pewarna. Namun berhias dengan make up di zaman kita adalah perhiasan yang berat, dan tidak dapat dibandingkan dengan celak ringan, cincin, atau pacar dan pewarna.
Apakah syaikh menisbatkan pendapat ini kepada jumhur bahwa mereka berpandangan bolehnya membuka kedua telapak tangan dan wajah serta perhiasan apa pun pada keduanya, merupakan penisbatan yang benar ? Atau apakah beliau membuat kesalahan dalam menisbatkan pendapat ini pada jumhur ? Saya tidak bertanya tentang pentarjihan pendapat ini atau masalah aurat perempuan, karena Anda mempunyai banyak fatwa mengenai hal ini. Saya hanya bertanya tentang konsep madzhab jumhur tentang masalah ini.
Ringkasan Jawaban
Teks Jawaban
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah, wa ba'du:
Pertama.
Jumhur fuqaha berpebdapat bahwasanya perempuan wajib menutup wajahnya dari pandangan kaum lelaki asing (yang bukan mahramnya). Penjelasannya, ada sekalangan fuqaha yang memandang bahwa pada bab (masalah) memandang, wajah perempuan adalah aurat. Ada segolongan fuqaha lagi yang tidak memandang bahwa wajah perempuan adalah aurat, akan tetapi perempuan harus menutupnya karena takut fitnah, terutama di zaman di mana kerusakan begitu menyebar.
Berikut ini beberapa pendapat para fuqaha dalam masalah ini.
Madzhab Hanafi :
Ibnu Nujaim mengatakan dalam kitab Al-Bahru Ar-Ra’iq (2/381), “Dalam fatwa-fatwa Qadi Khan disebutkan, ‘Masalah ini menunjukkan bahwasanya perempuan tidak boleh membuka wajahnya bagi kaum pria asing (bukan mahram) tanpa adanya darurat.’ Hal ini menunjukkan bahwa Irkha’ (mengulurkan jilbab) di saat ada kemampuan dan adanya kaum pria yang asing, maka wajib baginya menutup wajah, jika yang diinginkan adalah tidak boleh membuka wajah.”
Ibnu Abidin mengatakan dalam kitab Hasyiyah Al-Bahr, “Berkata dalam An-Nahr, ‘... Dan perkataan dalam Al-Fatawa, ‘Tidak membuka, artinya tidak boleh.’”
Dalam Al-Bahr Ar-Ra’iq (1/284) dikatakan juga, “Ketahuilah, tidak ada kelaziman antara pernyataan telapak kaki bukan aurat dengan kebolehan memandangnya. Karena bolehnya memandang kembali ke permasalahan takut menimbulkan syahwat, walaupun bukan aurat. Sebab itulah diharamkan melihat wajah wanita dan wajah Amrad (laki-laki yang belum tumbuh jenggot) jika ditakutkan menimbulkan syahwat padahal bukan aurat.” Begitu dijelaskan dalam kitab Syarah Al-Munyah.
Para ulama madzhab kami berkata bahwa terlarang bagi wanita muda untuk menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki di zaman kita ini, karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah.
Dalam Majma’ Al-Anhar (1/81) dikatakan bahwa di dalam Al-Muntaqa dinyatakan bahwasanya wanita muda dilarang membuka wajahnya, supaya tidak menimbulkan fitnah.
Pada zaman kita, larangan membuka wajah wajib hukumnya, bahkan fardhu, karena kerusakan sudah dominan.
Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwasanya seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali salah satu matanya dan seterusnya karena dorongan darurat.
Dalam Ad-Durr Al-Mukhtar (1/406) disebutkan, “Wanita muda dilarang membuka wajahnya di tengah-tengah kaum pria, bukan karena wajah itu aurat, akan tetapi karena khawatir terjadi fitnah.”
Ibnu Abidin mengatakan dalam Hasyiyah-nya, “Maknanya adalah terlarang bagi wanita menampakan wajahnya karena khawatir akan dilihat oleh para lelaki, kemudian timbullah fitnah. Karena jika wajah dinampakkan, terkadang lelaki melihatnya dengan syahwat.”
As-Saharanfuri Rahimahullah mengatakan, “Membuka wajah dikaitkan dengan kebutuhan (Hajah) ditunjukkan oleh kesepakatan kaum Muslimin bahwasanya kaum wanita dilarang keluar rumah dengan membuka wajah, terutama ketika muncul banyaknya kerusakan.” (Badzlu Al-Majhud Syarah Sunan Abi Daud, 16/431).
Madzhab Maliki
Ad-Dardir mengatakan dalam As-Syarh As-Shaghir mengatakan, “Aurat wanita merdeka di hadapan lelaki ajnabi yang bukan mahramnya adalah seluruh tubuh, selain wajah dan kedua telapak tangan. Adapun keduanya (wajah dan kedua telapak tangan) bukanlah aurat. Jika diwajibkan baginya untuk menutupnya itu karena khawatir akan fitnah.”
As-Shawi dalam Hasyiyah-nya mengutip dari Ibnu Marzuq bahwasanya pendapat yang masyhur dalam madzhab (Maliki) adalah wajib menutup wajah dan kedua tangannya.
Dalam Hasyiyah Ad-Dasuqi (1/214) disebutkan bahwa sesungguhnya menutup wajah dan kedua tangan wanita merdeka adalah wajib, apabila ditakutkan terjadi fitnah jika membukanya.
Abu Bakar Ibnu Al-Arabi Rahimahullah mengatakan, “Wanita semuanya adalah aurat; tubuhnya dan suaranya. Maka tidak boleh membukanya kecuali karena darurat atau hajat, seperti memberikan kesaksian, penyakit yang terdapat pada tubuhnya, atau dia ditanya tentang suatu masalah yang diajukan padanya.” (Ahkam Al-Qur’an, 3/616).
Begitu pula yang dinyatakan dalam Tafsir Al-Qurthubi (14/227).
Madzhab Syafi’i
Imam Al-Haramain Al-Juwaini Rahimahullah mengatakan, “Kesepakatan kaum Muslimin melarang kaum wanita untuk bertabarruj, membuka wajah serta meninggalkan cadar.” (Nihayat Al-Mathlab, 12/31).
Ibnu Hajar mengatakan dalam Tuhfat Al-Muhtaj (2/112), “Sesungguhnya diharamkan memandang keduanya, yaitu wajah dan kedua telapak tangan wanita merdeka meskipun tanpa disertai syahwat.”
Az-Zayadi mengatakan dalam Syarah Al-Muharrar setelah perkataan, “Setelah ketetapan ini dapat diketahui bahwa wanita memiliki tiga aurat, yaitu aurat di dalam shalat, yakni seperti yang telah disebutkan sebelumnya, aurat jika dikaitkan dengan pandangan lelaki ajnabi (bukan mahram), yaitu seluruh tubuhnya hingga wajah dan kedua telapak tangan, sesuai dengan pendapat yang Mu’tamad, dan aurat saat sepi (sendirian) dan di hadapan mahramnya yaitu seperti auratnya laki-laki.”
Ditambah yang keempat yaitu aurat wanita Muslimah jika dikaitkan dengan pandangan wanita kafir yang bukan tuannya dan mahramnya, yaitu bagian tubuh yang biasa terlihat ketika beraktifitas.
As-Suyuthi mengatakan dalam Al-Asybah wa An-Nazha’ir, hal. 240, “Dalam masalah aurat, wanita mempunyai beberapa keadaan. Pertama, keadaan bersama dengan suami yaitu tidak ada aurat di antara mereka berdua. Sedangkan melihat kemaluan ada perbedaan pendapat. Kedua, keadaan bersama dengan Ajanib (bukan mahram) auratnya yaitu seluruh tubuh hingga wajah dan kedua telapak tangan menurut pendapat yang Al-Ashah. Ketiga, keadaan bersama dengan mahramnya dan kaum wanita, auratnya yaitu antara pusar dan lutut. Keempat, keadaan dalam shalat, auratnya yaitu semua anggota tubuh, kecuali wajah dan kedua telapak tangan.”
Dalam Fatawa Ar-Ramli (3/169) disebutkan, “Ditanyakan apakah wajib bagi perempuan menutup wajahnya ketika di luar shalat dan berada di hadapan Ajanib (bukan mahram) ataukah tidak, sebagaimana dinyatakan oleh ungkapan Al-Irsyad dan Ar-Raudh, dan yang dikutip oleh Al-Qadhi Iyadh bahwa para ulama menyepakati hal itu ?
Kemudian dijawab bahwasanya wajib atas wanita untuk menutup wajahnya di hadapan lelaki asing (yang bukan mahram) sebagaimana yang dinilai shahih dalam Al-Minhaj. Kekuatan perkataan dalam Syarah As-Shaghir menuntut pendapat itu lebih rajih, kemudian diberikan alasan dengan kesepakatan kaum Muslimin bahwa kaum wanita dilarang keluar rumah dengan membuka wajah, mengutip dalam Ar-Raudhah dan asalnya dari kesepakatan ini seperti ditetapkan oleh keduanya.
Al-Balqini mengatakan,”Yang benar adalah dengan kekuatan orang yang mendapatkannya, dan fatwa yang ada dalam Minhaj, dan ditegaskan dalam tadribnya, Al-Adro’i mengatakan,”Bahkan yang nampak adalah pilihan jumhur ulama’. Selesai
Dan tidak disandarkan atas apa yang dikatakan oleh sebagian diantara mereka dengan kesepakatan yang disebutkan dalam perkataan dua syekh tadi. Selesai.
Dalam ‘Hasyiyah Al-Bujairami ‘Alal Khotib, (1/451),” dan ungkapan (dan auratnya wanita yang merdeka) maksudnya dalam shalat.
Sementara auratnya di luar shalat terkait dengan pandangan lelaki asing kepadanya adalah seluruh tubuhnya, sampai wajah dan kedua telapak tangannya. Meskipun aman dari fitnah, meskipun tipis, maka diharamkan lelaki asing untuk melihat sesuatu apapun dari badan wanita. Selesai
Dalam “Hasyiyah Al-Bujairami ‘Alal Minhaj, (1/235),”Untuk wanita merdeka ada empat aurat, ketika bertemu dengan lelaki asing (bukan mahram): semua tubuhnya. Dan ketika dengan mahram serta sendirian: antara pusar dan lutut. Ketika bersama dengan para wanita kafir: adalah sesuatu yang tidak boleh nampak ketika beraktifitas. Sementara kalau dalam shalat: apa yang disebutkan oleh pensyarah kitab yaitu bahwa auratnya dalam shalat adalah selain wajah dan kedua telapak tangan. Selesai
Madzhab Hanbali:
Dalam kitab ‘Nailul Ma’arib Syarkh Dalilut Tolib, (1/125),”(Wanita merdeka yang sudah balig semuanya adalah aurat dalam shalat), sampai kuku dan rambutnya, (Kecuali wajah).
Wajah dan kedua telapak tangan dari wanita merdeka yang balig : ketika memandangnya termasuk aurat diluar shalat, seperti badan lainnya. Selesai
Al-Bahuti dalam kitab ‘Kasyaful Qana’, (1/316) mengatakan,”(keduanya) maksudnya adalah kedua telapak tangan (dan wajah) dari wanita merdeka yang balig: (adalah aurat diluarnya) maksudnya di luar shalat. (dalam memandangnya, seperti badan lainnya) sebagaimana sabda Nabi sallallahu’aliahi wa sallam tadi ‘Wanita itu aurat’. Selesai
Al-Bahuti dalam kitab ‘Syarkhul Muntaha, (1/167) mengatakan,”Ungkapannya: semuanya adalah aurat dalam shalat kecuali wajahnya maksudnya adalah sementara kalau di luar shalat, maka semuanya adalah aurat sampai wajahnya juga. (Hal ini) Terkait dengan lelaki dan khuntsa (waria). Selesai
Dari sini jelas, bahwa menutup wajah : itu wajib menurut empat madzhab untuk zaman kita, bagaimana mungkin jumhur mengklaim memperbolehkan membuka (wajahnya), apalagi selain membuka disertai dengan mempergunakan hiasan. Oleh karena itu Mufti Pakistan Syekh Muhammad Syafi’ Al-Hanafi mengatakan,”Secara global, bahwa para madzhab dalam ilmu fikih serta mayoritas ulama’ umat sepakat tidak diperbolehkan bagi para wanita muda membuka wajahnya dan tangan-tangannya diantara para lelaki asing (bukan mahram). Dikecualikan wanita tua berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَآءِ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung).” QS. An-Nur: 60
Selesai dari kitab ‘Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 202.
Dan apa yang telah kami sebutkan tadi adalah pendapat kebanyakan ulama’ mutakhirin (zaman akhir) dari kalangan para ulama’ fikih dalam madzhab. Kalau tidak, zaman dahulupun ada dikalangan ulama’ yang berpendapat diperbolehkannya membuka wajah, terutama dari kalangan madzhab Hanafiyah dan Malikiyah dan Syafiiyyah juga. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa tidak mengatakan bahwa wajah itu termasuk aurat dalam bab memandangan. Bukan pada bab lainnya.
Kedua:
Dikalangan ulama’ salaf terjadi perbedaan terkait dengan perhiasan yang nampak yang mana bagi wanita diperbolehkan menampakkan kepada lelaki asing (bukan mahramnya).
Syeikhul islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,”Ulama’ salaf berbeda pendapat terkait dengan hiasan yang nampak menjadi dua pendapat, Ibnu Mas’ud dan yang sependapat dengan beliau mengatakan,”Itu adalah pakaian. Sementara Ibnu Abbas dan yang sependapat dengan beliau mengatakan,”Ia adalah wajah dan kedua telapak tangan seperti celak dan cincin.
Sebenarnya permasalahan ini adalah bahwa Allah telah menjadikan hiasan itu menjadi dua macam hiasan, hiasan yang nampak dan hiasan yang tidak nampak. Dan (wanita) itu diperbolehkan menampakkan perhiasan yang nampak kepada selain suami dan para lelaki mahramnya.
Dahulu sebelum ayat hijab turun, para wanita keluar tanpa memakai jilbab (penutup kepala). Sehingga seorang lelaki melihat wajah dan kedua tangannya. Dimana dahulu waktu itu (wanita) diperbolehkan menampakkan wajah dan kedua tangannya. Dan waktu itu juga diperbolehkan untuk melihatnya karena diperbolehkan untuk menampakkannya. Kemudian ketika Allah menurunkan aya hijab dalam firman-Nya:
يا أيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" QS. Al-Ahzab: 59
Maka para wanita menutupnya dari para lelaki. Oleh karena itu ketika Zainab binti Jahs menikah ditutupi, dan melarang para wanita untuk melihatnya.
Ketika shofiyah binti Huyay dipilih (dipinang) setelah itu pada tahun Haibar, mereka mengatakan,”Kalau dia berhijab maka dia termasuk ummahat (para ibunya) orang-orang beriman, kalau tidak berhijab, maka dia termasuk budak yang dapat dimiliki, maka beliau berhijab.
Ketika Allah memerintahkan jangan bertanya kecuali dibalik hijab, maka beliau memerintahkan istri-istri, anak-anak perempuan dan para wanita mukminah agar menutup dengan jilbab-jilbabnya. Dan kata ‘Jilbab’ adalah penutup baju luar dimana Ibnu Mas’ud dan lainnya menamakan selendang atau orang umum memberi nama baju luar. Yaitu penutup kain besar yang dapat menutupi kepala dan seluruh tubuhnya.
Diceritakan dari Abu Ubaid dan lainnya,”Bahwa ia menutup dari atas kepalanya sehingga tidak nampak kecuali matanya saja. Termasuk satu jenis dengan cadar (niqob). Dimana dahulu para wanita pada memakai cadar.
Dalam hadits shoheh disebutkan, bahwa wanita yang sedang berihrom tidak memakai cadar dan tidak memakai kedua kaos tangan.
Kalau diperintahkan untuk memakai jilbab agar tidak diketahuinya yaitu menutup wajahnya atau menutup wajah dengan cadar. Dimana wajah dan kedua tangan termasuk hiasan yang diperintahkan agar tidak nampak untuk lelaki asing, sehingga lelaki asing tidak dihalalkan melihatnya kecuali hanya melihat baju luar yang nampak saja. Maka Ibnu Mas’ud menyebutkan diantara dua perkara yang terakhir dan Ibnu Abbas menyebutkan dua perkara yang pertama. Selesai dari kitab ‘Majmu’ Fatawa, (22/109-111).
Maka dalam perkataan Syeikhul Islam dapat menggabungkan diantara dua pendapat, bahwa pendapat Ibnu Abbas itu adalah yang pertama kali sebelum para wanita diperintahkan untuk menutup wajahnya, sementara perdapat Ibnu Mas’ud adalah setelah diperintahkan menutup wajahnya. Dari sini bahwa pendapat yang kuat adalah hiasan yang nampak adalah baju. Kesemuanya ini kalau seandainya atsar dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma shoheh.
Syekh Amin As-Syinqithi rahimahullah mengatakan,”Saya melihat cuplikan yang disebutkan dari ulama’ salaf, beberapa pendapat dari kalangan ahli ilmu tentang hiasan yang nampak dan hiasan yang tidak nampak. Dan semuanya itu kembali secara global menjadi tiga pendapat. Seperti yang telah kami sebutkan.
Pendapat pertama: maksud dari hiasan adalah apa yang biasa dibuat hiasan wanita, keluar dari asal penciptaannya. Dan tidak harus melihat kepadanya, melihat sesuatu dari tubuhnya. Seperti pendapat Ibnu Mas’ud dan orang yang sependapat dengannya. Ia adalah yang nampak dari bajunya. Karena baju adalah termasuk hiasan yang diluar dari asal ciptaannya. Dan yang ini termasuk hukum yang pasti seperti yang anda lihat. Dan pendapat ini yang paling nampak (kuat) diantara pendapat-pendapat lainnya menurut kami dan lebih hati-hati serta lebih jauh dari keraguan dan adanya sebab fitnah.
Pendapat kedua: maksud dari hiasan adalah apa yang dibuat berhias dengannya. Dan bukan dari asal penciptaannya juga, akan tetapi ketika melihat hiasan itu mengharuskan melihat sesuatu dari tubuhnya hal itu seperti semir rambut dan celak dan semisal itu. Karena melihat hal tersebut mengharuskan melihat tempat yang dipakai di tubuhnya dan hal itu tidak tersembunyi lagi.
Pendapat ketiga: bahwa maksud dari hiasan yang nampak adalah sebagian tubuh wanita yang termasuk asal dari penciptaannya. Seperti pendapat bahwa maksud dari yang nampak darinya adalah wajah dan kedua telapak tangan. Seperti tadi yang telah disebutkan dari sebagian ahli ilmu.
Kalau anda telah mengetahui akan hal ini, ketahuilah bahwa apa yang telah kami ketengahkan dari terjemah kitab yang berkah ini, bahwa diantara jenis penjelasan yang terkandung di dalamnya bahwa sebagian ulama’ berpendapat dalam ayat itu ada pendapat, dimana dalam satu ayat itu ada indikasi yang menunjukkan ketidak absahan pendapat tersebut.
Dan kami juga telah mengetangahkan dalam terjemahnya bahwa diantara penjelasan yang terkandung di dalamnya bahwa yang sering kali ada dalam qur’an menginginkan makna tertentu dalam satu kata. Disertai diulang-ulang kata itu dalam Al-Qur’an. Sehingga artinya bahwa yang diinginkan dalam kata itu yang seringkali ada. Hal itu menunjukkan bahwa itu maksud dalam perbedaan. Dengan dalil karena seringkali diinginkan dalam al-Qur’an dengan menyebutkan kata tersebut. Dan kami telah menyebutkan sebagian contoh dalam terjamah (kitab).
Kalau anda telah mengetahui hal itu, ketahilah bahwa ada dua macam diantara macam penjelasan yang telah kami sebutkan dalam terjemah kitab yang berkah ini, dan kami telah berikan contoh tentang keduanya dengan berbagai macam contohnya. Keduanya ada dalam ayat ini, yang kita bahas sekarang.
Sementara yang pertama dari dua hal itu penjelasannya bahwa pendapat orang yang mengatakan tentang makna ayat:
ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها
“dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” QS. AN-Nur: 31
Bahwa maksud dari hiasan disini adalah wajah dan kedua tangan contohnya, maka dalam ayat ada indikasi yang menunjukkan ketidak sahnya pendapat ini. Yaitu bahwa hiasan dalam bahasa arab itu adalah apa yang dibuat berhias oleh wanita. Dimana hal itu diluar dari asal penciptaannya seperti gelang dan kalung. Maka mentafsiri hiasan dengan sebagian tubuh wanita adalah menyalahi sisi dhohirnya. Dan tidak boleh diarahkan kesana kecuali ada dalil yang harus merujuk kesana.
Dari sini anda ketahui bahwa pendapat yang mengatakan,”Hiasan yang nampak itu adalah wajah dan kedua tangan itu menyalahi yang nampak dari arti kata dalam ayat. Hal itu menunjukkan ketidah sahnya pendapat ini. Dan tidak boleh mengarahkan kesana kecuali ada dalil yang terpisah dan harus merujuk kesana.
Sementara macam kedua yang disebutkan, maka penjelasannya bahwa kata hiasan seringkali diulang-ulang dalam Al-Qur’an nan Agung maksudnya adalah hiasan yang keluar dari asal hiasan itu sendiri. Bukan dimaksudkan sebagian dari hiasan itu. Seperti firman Allah ta’ala:
يابني آدم خذوا زينتكم عند كل مسجد
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid.” QS. Al-A’raf: 31,
Dan firman Allah ta’ala:
قل من حرم زينة الله التي أخرج لعباده
“Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya.” QS. Al-A’raf: 32
Dan friman-Nya:
فخرج على قومه في زينته
“Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya.” QS. Al-Qasas: 79
Dan firman-Nya:
ولا يضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن
“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” QS. An-Nur: 31
Maka kata ‘Perhiasan’ dalam semua ayat ini, maksudnya adalah menghiasi dengan sesuatu dan ia bukan dari asal penciptaannya. Seperti yang anda lihat. Arti ini yang seringkali kata hiasan dalam Al-Qur’an, menunjukkan bahwa kata ‘perhiasan’ dalam kontek perselisihan, maksudnya adalah arti semacam ini, dimana seringkali dipergunakan dalam Al-Qur’an nan agung.
Kalau anda mengetahui bahwa maksud dari hiasan dalam Al-Qur’an adalah apa yang djadikan hiasan dengannya. dimana ia keluar dari asal penciptaan. Dikalangan para ulama yang menafsiri dengan cara ini, mereka berbeda pendapat menjadi dua pendapat. Sebagian diantara mereka mengatakan,”Ia adalah hiasan yang tidak harus melihat kepadanya dari sesuatu tubuh wanita, seperti penampilan baju. Sebagian lainnya mengatakan,”Ia adalah hiasan yang mengharuskan melihat kepada tempat dari tubuh wanita seperti celak, semir dan semacam itu.
Orang yang membatasinya –semoga Allah memaafkan dan mengampuninya – mengatakan,”Yang lebih nampak kuat diantara dua pendapat tadi menurutku adalah pendapatnya Ibnu Mas’ud –radhiallahu’anhu- bahwa hiasan yang nampak itu adalah tidak harus melihat kepadanya dengan melihat sesuatu bagian dari tubuh wanita asing. Kami mengatakan pendapat ini adalah yang paling nampak (kuat), karena ia termasuk pendapat yang lebih berhati-hati dan lebih jauh dari sebab adanya fitnah serta lebih membersihkan hati para lelaki dan para wanita.
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa wajah seorang wanita itu adalah pokok dari kecantikannya, dan melihatnya termasuk sebab terbesar terkena firnah dengannya. Sebagaimana yang telah diketahui. Sesuai dengan kaidah syareat nan mulia ‘Termasuk kesempurnaan dalam menjaga serta menjauhi dari terjerumus ke dalamnya, selayaknya jangan terjadi. Selesai dari tafsir ‘Adhwaul Bayan, (5/515-517).
Kesimpulannya:
Bahwa menyandarkan pendapat jumhur ulama’ diperbolehkannya membuka wajah disertai dengan menampakkan hiasan itu adalah suatu kesalahan. Bahkan jumhur ulama’ berpendapat dengan menutup wajah, baik hal itu termasuk aurat maupun tidak.
Wallahua’lam
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam