Kedua hadis tersebut adalah termasuk landasan hadis-hadis dalam bab-bab pembahasan bid’ah, para ulama menjadikannya dasar untuk mendefinisikan pengertian bid’ah, batasan dan parameternya. Dan jika kita mengumpulkan riwayat kedua Hadis tersebut dengan Hadis-Hadis yang lain maka kita dapat memahami topik ini dengan lebih akurat.
Dr. Muhammad Al-Jaizani hafidzahullah mengatakan: di dalam as-sunnah al-muhaharrah ada beberapa Hadis Nabawi yang memberikan referensi mengenai kata “bid’ah”, diantaranya:
- Hadits Al- Irbad bin Sariyah radhiyallahu 'anhu,Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وإياكم ومحدثات الأمور ؛ فإن كل محدثة بدعة ، وكل بدعة ضلالة أخرجه أبو داود (4067
(berhati-hatilah membuat suatu perkara baru, karena sesungguhnya membuat perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan), dikeluarkan oleh Abu Daud (4067).
- Hadis Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan dalam khutbahnya:
إن أصدق الحديث كتاب الله ، وأحسن الهدي هدي محمد ، وشر الأمور محدثاتها ، وكل محدثة بدعة ، وكل بدعة ضلالة ، وكل ضلالة في النار أخرجه بهذا اللفظ النسائي في سننه (3/188
(ucapan yang paling benar adalah Kitab Allah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, seburuk-buruknya perkara adalah perkara baru yang dibuat-buat, dan membuat suatu perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan itu masuk ke neraka) diriwayatkan dengan kata-kata ini oleh An-Nasai di dalam sunannya (3/188).
Dari kedua Hadis tersebut, jelas bahwa bid’ah adalah membuat suatu perkara baru, untuk itu perlu dilakukan pencarian makna Hadis-Hadis di dalam “as-sunnah al-muthaharrah”, diantaranya:
- Hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد أخرجه البخاري (2697) ومسلم (1718
(barang siapa yang membuat perkara baru didalam urusan kita yang tidak ada dasarnya, maka ia tertolak)diriwayatkan oleh al-Bukhari (2697), dan Muslim (1718).
- Dalam riwayat lain:
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد أخرجه مسلم (1718
(barang siapa yang melakukan amalan yang tidak ada perintah kami, maka ia tertolak), diriwayatkan oleh Msulim (1718).
Dari keempat Hadis tersebut, jika kita dalami maka kita bisa menemukan batasan bid’ah dan hakikatnya dalam pandangan Islam:
Bahwa bid’ah memiliki tiga batasan yang menjadi cirinya, dan suatu perkara tidak bisa disebut sebagai bid’ah kecuali jika terpenuhi batasan-batasan tersebut, yaitu:
- Sesuatu yang baru
- Sesuatu yang baru tersebut ditambahkan dalam urusan agama
- Sesuatu yang baru tersebut tidak memiliki dasar hukum Islam, baik yang bersifat khusus atau pun umum.
Dalil mengenai batasan tersebut adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَن أحدث
(barang siapa yang membuat perkara baru),
dan sabdanya:
وكل محدثة بدعة
(dan setian perkara baru adalah bid’ah),.
Yang dimaksud dengan perkara yang baru adalah: melahirkan sesuatu perkara yang baru diciptakan, belum pernah ada sebelumnya, maka mencakup semua hal yang baru ditemukan, baik yang tercela ataupun yang terpuji, terkait dengan urusan agama atau urusan lainnya.
Dan ketika sesuatu perkara yang baru bisa terjadi pada urusan dunia, dan bisa juga terjadi pada urusan agama, maka harus dibatasi perkara yang baru tersebut dengan dua batasan sebagai berikut:
- Perkara yang baru tersebut ditambahkan untuk urusan agama
Dalil untuk batasan ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: (di dalam urusan kita), yang dimaksud dengan “urusan” disini adalah urusan agama dan syariahnya, maka yang dimaksud dengan bid’ah adalah: membuat suatu perkara baru yang di nisandarkan ke dalam syariat dan ditambahkan ke dalam agama dengan cara-cara tertentu, dan pengertian ini terpenuhi dengan salah satu dari tiga dasar:
- Mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang tidak diperintahkan
- Menyimpang dari ajaran agama
- Alasan yang dibuat-buat yang mengarah pada perbuatan bid’ah
Dengan batasan ini, maka temuan-temuan materi dan hal-hal baru yang bersifat duniawi dan tidak ada kaitannya dengan urusan agama dikecualikan, demikian juga halnya dengan perbuatan dosa dan keji yang diciptakan, dan memang tidak ada sebelumnya, hal ini tidak termasuk dalam kategori bid’ah, kecuali jika dilakukan untuk mendekatkan diri, atau sebagai dalih agar dianggap bagian dari ajaran agama.
- Sesuatu yang baru tersebut tidak memiliki dasar hukum Islam, baik yang bersifat khusus atau pun umum.
Dalil untuk batasan ini adalah: sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
( ما ليس منه ) ، وقوله : ( ليس عليه أمرنا
(yang tidak termasuk dari (perintah)), dan ucapannya: (tidak ada dasarnya dari perintah kita).
Batasan ini mengecualikan perkara-perkara baru yang berkaitan dengan urusan agama, tetapi ada dasar hukumnya baik yang bersifat khusus ataupun umum.
Diantara perkara baru yang memiliki dasar hukum yang bersifat umum adalah: perkara yang termasuk dalam maslahah-maslahah mursalah; seperti pengumpulan mushal al-Qur’an oleh para sahabat.
Dan Diantara perkara baru yang memiliki dasar hukum yang bersifat khusus adalah: diperkenalkannya shalat Tarawih berjamaah pada masa pemerintahan Umar radhiyallahu 'anhu, karena didasarkan pada bukti hukum khusus. Hal yang sama juga berlaku dalam menghidupkan kembali hukum-hukum yang sudah ditinggalkan, dan gambaran mengenai hal ini sangat bervariasi tergantung waktu dan tempat, dan contohnya adalah berdzikir mengingat Allah di tempat-tempat yang lalai.
Melihat pengertian linguistik dari kata membuat suatu perkara baru (al-ihdast), maka tidak salah menyebut perkara-perkara yang didasarkan pada dalil-dalil syar’i adalah termasuk membuat perkara-perkara baru; karena pada dasarnya perkara-perkara syar’i tersebut mulai dilakukan kembali untuk kedua kalinya setelah sebelumnya ditinggalkan atau diabaikan, secara relatif ini masuk dalam kategori membuat perkara baru.
Dan diketahui bahwa setiap perkara baru yang memiliki dasar hukum syar’i keabsahannya, dalam pandangan syariah tidak disebut sebagai “membuat suatu perkara baru”, tidak juga disebut sebagai inovasi, karena yang disebut dalam kategori “membuat suatu perkara baru (al-ihdast) dan inovasi” dalam pandangan syariah adalah yang tidak memiliki dasar hukum syar ’i.
Berikut ini adalah pernyataan yang menegaskan ketiga batasan menurut pandangan ulama:
- Ibnu Rajab mengatakan: “siapapun yang membuat suatu perkara baru dan mengaitkannya dengan agama, tanpa memiliki dasar hukum agama sebagai referensinya, maka itu adalah kesesatan, dan agama terlepas dari hal itu”, jamiul ‘ulum wa al-hikam (2/128).
- Beliau juga mengatakan: “yang dimaksud dengan bid’ah adalah: suatu perkara baru yang dibuat, tanpa dasar hukum syar’i yang menunjukkannya, adapun perkara baru yang memiliki dasar hukum syar’i yang menunjukkannya maka bukan termasuk bid’ah dalam pandangan syariah, meskipun hal itu bisa disebut sebagai bid’ah dalam pengertian bahasa”, jamiul ‘ulum wa al-hikam (2/127).
- Ibnu Hajar mengatakan: yang dimaksud dengan ungkapan (setiap bid’ah adalah sesat) adalah perkara baru yang dibuat tanpa ada dasar hukum syar’i baik secara khusus atau umum” fathu al-bari, (12/254).
- Beliau juga mengatakan: “dan Hadis ini : maksudnya hadits:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
(barang siapa yang membuat perkara baru didalam urusan kita yang tidak ada dasarnya, maka ia tertolak)–
dianggap sebagai pondasi Islam dan sebagai salah satu prinsip hukumnya; maka barang siapa yang mengada-adakan suatu perkara baru di dalam urusan agama tanpa ada dasar hukumnya, maka tidak perlu di ikuti” fath al-bari, (5/302).
Pengertian bid’ah menurut hukum syar’i:
Dari uraian diatas kita bisa membatasi makna bid’ah menurut hukum syar’i: bahwa yang dimaksud dengan bid’ah disini adalah yang menggabungkan ketiga batasan tersebut, dan mungkin definisi komprehensif dari batasan tersebut dapat dikatakan bahwa bid’ah adalah: suatu perkara baru yang dibuat dalam urusan agama Allah, dan tidak memiliki dasar hukum syar’i yang melandasinya baik yang bersifat umum maupun khusus. Atau dengan ungkapan lain: (suatu perkara baru dalam agama yang dibuat tanpa dasar hukum syar’i), akhir kutipan “qawaid ma’rifati bid’ah” (hlm :18-23) dengan uraian singkat”.
Lihat juga jawaban soal no. (7277), (864).
Wallahu a’lam.