Sabtu 18 Syawal 1445 - 27 April 2024
Indonesian

Cara Mendapatkan Akhlak Yang Baik Dalam Islam

Pertanyaan

Bagaimana cara mendapatkan akhlak yang baik ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Akhlak yang baik adalah sifat rasul sayyidul mursalin dan merupakan sebaik-baiknya amalan orang-orang yang bertakwa. Dan jika dilihat lebih dalam,  adalah separuh dari agama, buah dari usaha keras orang-orang yang bertakwa dan amalan orang-orang yang rajin beribadah. Dan Sifat buruk adalah racun yang mematikan dan aib yang memalukan.

Nabi salhallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “sesungguhnya, Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam “Al-Adab Al-Mufrad” (273) dan disahkan oleh Al-Albani dalam “Al -Silsilah Al-Sahih” (45).

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah salhallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang apa yang bisa memasukkan sebagian besar orang ke surga. Dia berkata: “Takut kepada Allah dan akhlak yang baik.” Diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi (2004) dan beliau mengatakan itu Sahih Gharib. Hal ini dikuatkan oleh Al-Albani dalam Sahih Al-Tirmidzi.

Oleh sebab itulah, diperlukan perhatian yang besar dalam merumuskan pedoman pengobatan penyakit hati  dan cara memperoleh sifat-sifat yang baik, hal ini dianggap sebagai salah satu kewajiban yang paling penting, karena tidak ada hati yang bebas dari penyakit, dan  Jika hal ini dianggap remeh maka penyakit akan menumpuk. Tidak ada jiwa yang terbebas dari perilaku-perilaku yang jika diberi kebebasan akan membawa pada kehancuran di dunia dan di akhirat.

Pengobatan semacam ini memerlukan pengetahuan yang mendalam tentang sebab dan medium (perantara), kemudian memerlukan kerja keras untuk menyembuhkan dan memperbaikinya, agar dapat menggapai keberuntungan dan  kesuksesan. Allah berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan dirinya sendiri.” [Al-Sham 91:9]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berdo’a supaya diberi akhlak yang baik, dengan bersabda, “Ya Allah, Engkau telah membuat rupa luarku indah, maka buatlah akhlakku juga baik.” Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab Sahihnya (3/239) dan digolongkan sahih oleh Al-Albani dalam Irwa' Al-Ghalil (75).

Kedua:

Jika seorang hamba bisa mengidentifikasi kelemahan-kelamahan dirinya, maka dia dapat memperbaikinya, akan tetapi  banyak orang yang tidak mengetahui kelemahan-kelemahan diri mereka sendiri. Di antara mereka mungkin ada yang melihat setitik kayu di mata saudaranya, tetapi tidak melihat balok kayu di matanya sendiri, maka barangsiapa ingin mengetahui kelemahan-kelemahan dirinya bisa melakukan empat cara:

  1. Mendatangai  seorang Syekh yang memiliki kemapuan mengetahui kelemahan-kelemahan jiwa dan faham seluk-beluk masalah-masalah yang disembunyikan, dan kemudian  belajar darinya ilmu, sikap dan budi pekerti yang baik.
  2. Mencari  sahabat yang jujur, cakap, dan kuat beragama (agamis), dan mengangkatnya sebagai pengawas atas dirinya untuk mengamati keadaan dan tindakanya. Apa pun yang terlihat tidak baik tentang akhlaknya, perbuatannya, dan kesalahannya baik yang  tersembunyi maupun yang tampak, maka ia akan menegurnya.  Begitulah yang biasa dilakukan oleh orang-orang bijak dan para imam besar agama. Umar radhiyallahu 'anhu selalu berkata:  “Semoga Allah mengasihi orang yang menunjukkan kesalahan-kesalahanku.”
  3. Mencari informasi tentang kekurangan-kekurangan dirinya dari lawan-lawanya, karena mata orang yang tidak suka akan selalu fokus pada hal-hal buruk (tentangmu). Seseorang mungkin mendapat manfaat (informasi) lebih banyak mengenai kekurangan-kekurang dirinya dari musuhnya dibandingkan dari seorang teman yang bersikap lemah lembut dengan selalu memuji dan menyembunyikan kesalahan-kesalahannya.
  4. Bergaul  dengan banyak orang. Segala sesuatu yang sifatnya tercela di kalangan manusia, semestinya ia waspadai pada dirinya sendiri, karena seorang mukmin adalah cerminan saudara seimannya, dan pada kekurangan-kekurangan orang lain ia dapat melihat kekurangan-kekurangan dirinya sendiri.  Dikatakan kepada Isa ‘alaihi as-salam: “Siapa yang mengajarimu?” Dia berkata: “Tidak ada yang mengajari saya; Saya melihat ketidaktahuan orang bodoh sebagai sesuatu yang buruk dan saya menghindarinya.”

Ketiga:

karakter adalah cerminan dari cara berpikir dan keadaan batin seseorang. Sebagaimana penampilan fisik seseorang, tidak akan terlihat indah jika hanya kedua matanya saja yang indah, sementata hidung, mulut dan pipinya tidak, maka semuanya harus indah agar wujud luarnya tampil indah, demikian pula (selain keindahan fisik) ada empat syarat keindahan batin yang harus terpenuhi agar sikap seseorang menjadi baik. Maka apabila keempat syarat tersebut terpenuhi dan seimbang maka akan terwujud akhlak yang baik, yang ciri-cirinya adalah: keilmuan yang kuat, pengendalian amarah, pengendalian hawa nafsu, dan keseimbangan yang baik antara ketiga aspek tersebut.

  • Keilmuan yang kuat, kebaikan dan kebenaranya akan menuntun dengan mudah untuk melihat perbedaan antara kejujuran ​​dan kebohongan dalam ucapan, antara kebenaran dan kebatilan dalam keyakinan, antara keindahan dan keburukan dalam perbuatan. Jika kekuatan ini baik, maka buahnya adalah kebijaksanaan (hikmah) yang merupakan puncak dari akhlak yang baik .
  • Kekuatan pengendalian amarah, kebaikanya adalah kemampuan menahan amarah dan melepaskannya dalam batasan yang ditentukan oleh sikap kebijaksanaan (hikmah).
  • Kekuatan pengendalian hawa nafsu, kebaikan dan kebenaranya adalah bahwa keinginan  harus dibawah kontrol sikap hikmah, artinya dibawah kendali petunjuk akal dan syariat.
  • Kekuatan keseimbangan yang baik adalah kekuatan dalam mengendalikan hawa nafsu dan amarah dibawah bimbingan akal dan syariat.

Akal (pikiran) ibarat penasihat yang selalu mengarahkan. kekuatan keseimbangan adalah kemampuan, dan contohnya adalah seperti seseorang yang melakukan apa yang diisyaratkan oleh pikiran, dan  Kemarahanlah yang melaksanakan isyarat tersebut.

Hanya Rasulullah SAW yang mencapai sikap moderat dalam empat hal ini. Orang-orang setelahnya berbeda-beda dalam hal kedekatan dan jarak darinya. Setiap orang yang dekat dengannya dalam akhlak ini adalah sama dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa. dia dekat dengan Rasulullah.

Orang yang mampu memperoleh dan menyeimbangkan sifat-sifat ini adalah orang yang benar-benar memiliki karakter yang baik, dan dari situlah semua sifat baik akan lahir.

Hanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mencapai keseimbangan sempurna dari keempat sifat ini, orang-orang yang datang setelahnya berbeda-beda dalam seberapa dekat atau jauh karakter mereka dengannya. Setiap orang yang dekat dengannya dalam sifat-sifat tersebut berarti dekat dengan Allah, sesuai kadar kedekatannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Keempat:

Keseimbangan ini dapat diperoleh dengan dua cara:

  1. Dengan kebaikan Ilahi dan kesempurnaan fitrah
  2. Dengan upaya memperoleh sifat-sifat tersebut melalui kerja keras dan latihan, yaitu mendorong diri sendiri untuk melakukan tindakan sesuai dengan sifat-sifat yang diinginkan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ilmu diperoleh dengan mencarinya (belajar), dan kesabaran diperoleh dengan berusaha bersabar. Barang Siapa berusaha mencari kebaikan akan diberikan kebaikan, dan barang siapa berusaha menjaga dirinya dari keburukan akan dilindungi.” Diriwayatkan oleh Al-Khatib dan hadits lain dari Abu Al-Darda', dan digolongkan hasan oleh Al-Albani.

Sebagai contoh, jika seseorang ingin memiliki sifat dermawan, maka yang dilakukan adalah dengan mengamalkan amalan kedermawanan, yaitu dengan berbagi harta kepada orang lain, kemudian berupaya terus menuntut dirinya dan membiasakan amalan tersebut sampai hal itu menjadi kebiasaan dirinya dan menjadi mudah baginya, sehingga dia menjadi dermawan.

Demikian pula jika seseorang ingin memiliki sifat rendah hati, sementara sikapnya selama ini cenderung sombong, maka caranya adalah dengan terus-menerus mengamalkan amalan rendah hati, berusaha keras dan memaksakan diri hingga sikap rendah hati tersebut menjadi bagian dari kebiasaan dan menjadi mudah baginya.

Semua akhlak yang terpuji menurut hukum Islam bisa dicapai dengan cara ini, dan akhlak (moral) keagamaan tidak akan pernah kokoh tertanam dalam jiwa selama jiwa itu sendiri belum terbiasa dengan semua kebiasaan baik, dan selama ia belum meninggalkan semua perilaku buruk, dan selama ia belum tekun melakukannya seperti orang yang menyukai perbuatan-perbuatan baik dan senang melakukannya, serta membenci perbuatan-perbuatan buruk dan merasa sedih (menderita) melakukannya.

Hal ini dapat dijelaskan melalui contoh:

  • Barangsiapa ingin terampil (mahir) menulis, sehingga (ketrampilan menulis) menjadi salah satu ciri khasnya, dan betul-betul menjadi seorang penulis, maka tidak ada jalan lain selain memegang di tangannya apa yang dipegang oleh penulis yang terampil, terus menerus melakukannya dalam waktu yang lama, berusaha meniru tulisan tangan yang indah, dan terus melakukannya hingga menjadi mapan dalam dirinya, sampai pada akhirnya tulisan indah akan menjadi kebiasaannya.
  • Demikian pula jika seseorang ingin menjadi seorang ahli fikih, maka ia tidak punya cara lain selain melakukan apa yang biasa dilakukan oleh para fuqaha', yaitu terus mendalami masalah-masalah fiqih hingga tumbuh kecintaan hatinya terhadap ilmu tersebut, maka dia menjadi ahli fikih. 
  • Dan jika seseorang ingin menjadi dermawan dan menahan diri dari bertanya kepada orang lain, serta menjadi sabar dan rendah hati, maka dia harus terus melakukan perbuatan orang tersebut sampai hal tersebut menjadi kebiasaannya. Jangan putus asa untuk mencapai sifat-sifat tersebut jika ia gagal belajar pada satu malam, karena ia tidak akan dapat mencapainya dengan belajar pada satu malam. Menyempurnakan jiwa dan menghiasinya dengan amal shaleh tidak akan tercapai dengan beribadah satu hari saja, dan tidak akan rugi jika ia berbuat dosa satu hari. Namun bermalas-malasan di suatu hari bisa saja berlanjut di hari berikutnya, lalu perlahan-lahan seseorang menjadi terbiasa dengan rasa malas.

Demikian pula, siapa pun yang ingin menjadi dermawan, berbudi luhur, sabar, dan rendah hati, maka ia harus membiasakan diri melakukan amalan orang-orang ini hingga menjadi sifat dan kebiasaanya. Dan tidak ada cara lain selain itu.

Sebagaimana orang yang mendalami fiqih jiwa tidak berputus asa untuk mencapai derajat tersebut dengan mensia-siakan satu malam dan tidak mencapainya dengan mengulangi satu malam, demikian pula orang yang ingin membersihkan jiwa, menyempurnakannya, dan mempercantiknya dengan amal shaleh tidak bisa meraihnya  dengan hanya  beribadah satu hari, dan tidak pula hilang dengan melakukan maksiat satu hari, namun berlibur (tidak melakukan kebiasaan) satu hari saja akan menuntut hal serupa, kemudian tersendat sedikit demi sedikit hingga jiwa menjadi nyaman dengan kemalasan.

Kelima:

Perumpamaan jiwa dalam perawatanya dengan membuang sifat-sifat dan perilaku buruk  darinya, dan menghadirkan keutamaan dan akhlak yang baik adalah seperti perawatan jasad dengan cara menghilangkan penyakitnya dan memperoleh kesehatan serta mendekatkannya.

Sebagaimana sifat dasar dari suasana hati adalah moderasi, dan perut hanya terganggu oleh gejala-gejala berbahaya dari makanan, nafsu, dan kondisi, demikian pula bahwa setiap anak pada dasarnya dilahirkan dengan sifat moderat dan fitrah yang benar, akan tetapi orang tuanya menjadikan dia Yahudi, Kristen, atau Majusi, atau melalui kebiasaan dan pembelajaran, sifat-sifat buruk diperoleh.

Sebagaimana tubuh yang tidak diciptakan sempurna sejak awal, melainkan disempurnakan dan diperkuat melalui asuhan, pendidikan, dan makanan, demikian pula jiwa yang juga diciptakan tidak sempurna namun bisa disempurnakan, dan itu melalui pendidikan, pendisiplinan akhlak, dan pembinaan dengan ilmu pengetahuan.

Jika tubuh dalam kondisi sehat, maka tugas dokter adalah menunjukkan cara menjaga kesehatan; dan jika sakit, maka tugas dokter adalah memulihkan kesehatannya. Demikian pula jiwa; jika ia bersih dan sehat maka seseorang harus berusaha untuk menjaganya dan menjadikannya lebih kuat serta memperoleh lebih banyak sifat baik; dan jika tidak sempurna dan bersih maka seseorang harus berusaha menyempurnakan dan mensucikannya.

Seperti halnya Penyakit yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam tubuh tidak bisa diobati kecuali dengan cara sebaliknya, jika disebabkan oleh panas maka diobati dengan dingin dan sebaliknya. Demikian pula sifat-sifat buruk yang menyebabkan penyakit hati, maka harus diobati dengan menerapkan hal sebaliknya. Maka untuk mengatasi kebodohan adalah dengan menuntut ilmu, mengatasi penyakit  kikir adalah dengan bermurah hati (berbagi), mengatasi penyakit sombong adalah dengan sikap rendah hati, dan mengatasi sifat rakus dengan  pengendalian diri.

Dan Sebagaimana perlunya menahan pahitnya obat dan bersabar dalam menahan diri dari banyak keinginan ketika mengobati tubuh yang sakit (penyakit fisik), demikian pula perlu untuk menahan pahitnya perjuangan dan bersabar ketika mengobati penyakit hati; bahkan hal ini lebih penting, karena penyakit fisik bisa hilang dengan kematian, sedangkan penyakit hati - wal ‘iyadh billah – adalah penyakit yang dapat bertahan setelah kematian dan berlanjut selama-lamanya.

Contoh-contoh ini memberikan petunjuk kepada Anda cara untuk mengobati penyakit hati, dan menyadarkan anda  bahwa cara total (komprehensif) pengobatannya adalah dengan menerapkan kebalikan dari kecenderungan dan keinginan seseorang. Allah ta’ala telah merangkum semua itu dalam Kitab-Nya yang mulia, ketika Dia berfirman:

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى . فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى

النازعات/40-41

“Adapun orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya .” [An-Nazi'at 79:40-41].

Terakhir:

Prinsip penting dalam perjuangan adalah komitmen menunaikan tekad, maka jika dia bertekad untuk melepaskan suatu keinginan, hendaknya dia bersabar dan gigh, sebab jika dia terbiasa mengingkari komitmen (tekad) itu, maka akan terbiasa melakukan itu dan menjadi rusak, dan jika ia gagal menjaga komitmen (tekad) nya, maka ia harus menjatuhkan hukuman pada dirinya karena hal itu, karena jika dia tidak menakut-nakuiti dirinya dengan hukuman, maka kecenderungan sifat jahatnya akan menguasainya dan mulai merasa nyaman menuruti keinginannya, dengan demikian seluruh usaha dan perjuangannya akan rusak.

Topik-topik tersebut disarikan dari kitab “Ihya’ Ulum al-Din” karya Al-Ghazali (3/62-98) dengan tambahan dan penambahan.

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam