Jum'ah 19 Ramadhan 1445 - 29 Maret 2024
Indonesian

Menikahinya Dengan Syarat Akan Diceraikan Setelah Dua Tahun, Apa Hukum Nikahnya? Apa Konsekwensinya?

186851

Tanggal Tayang : 07-03-2014

Penampilan-penampilan : 6716

Pertanyaan

Saya seorang pelajar muslim di negeri asing, menikah dengan seorang wanita muslimah di negeri tersebut dengan akad sah dan saksi-saksi. Kesepakatan yang terjadi di antara kami adalah bahwa pernikahan ini tidak seterusnya. Kedua belah pihak setuju bahwa saya akan menceraikannya setelah saya menyelesaikan studi saya setelah dua tahun. Diapun setuju dengan hal itu. Perlu diketahui bahwa kesepakatan tersebut tidak disebutkan dalam akad sama sekali. Akad berjalan lancar meskipun saya telah memberikan harapan sedikit sekali untuk kelangsungan perkawinan ini. Karena itu, walinya adalah hakim itu sendiri, karena bapak dan kakeknya telah wafat, dan para pamannya tidak hadir karena khawatir dengan kelangsungan perkawinan kami. Maka pernikahan kami bersifat sirri. Sekarang status kami masih suami istri, batasan waktu yang telah kami tetapkan telah kami lewati sekian lama. Kami justeru ingin terus menjaga perkawinan ini tanpa batasan waktu sebagaimana umumnya pasangan suami isteri meskipun pernah terjadi talak sekali.
Apakah akad pernikahan kami sah walaupun dengan kesepakatan waktu di antara kami pada kali pertama?
Apakah pernikahan dengan wali hakim sah? Apakah terjadi talak disana?
Apa yang harus kami lakukan jika kami ingin terus melangsungkan pernikahan ini?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Jika terjadi kesepakatan antara suami iseri atau antara suami dan wali wanita bahwa pernikahan bersifat sementara dengan waktu yang telah ditentukan, seperti setahun atau dua tahun atau tidak ditentukan dan hal itu dinyatakan dalam akad atau sebelumnya, maka pernikahan seperti itu batil. Karena itu pernikahan mut'ah, meskipun syarat dan rukun pernikahan terpenuhi.

Disebutkan dalam Kitab Al-Mughni, 7/136, "Tidak dibolehkan nikah mut'ah" Yang dimaksud dengan nikah mut'ah adalah seorang laki-laki menikahi wanita dalam masa tertentu. Misalnya sang wali berkata, "Aku nikahkan engkau dengan puteriku selama sebulan, atau setahun, atau hingga selesai musim, atau hingga kedatangan jamaah haji, atau semacamnya. Baik waktunya diketahui atau tidak. Ini merupakan nikah yang batil, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ahmad. Dia berkata, "Nikah mut'ah adalah haram."

Termasuk dianggap sebagai nikah mut'ah adalah: Seseorang melakukan akad dengan syarat dia akan menceraikannya setelah selesai masanya, baik masanya diketahui atau tidak.

Disebutkan dalam Kasyaful Qana (5/97), "Dia (nikah mut'ah) adalah seorang laki-laki menikahi wanita dalam masa tertentu, baik diketahui atau tidak. Misalnya sang wali berkata, "Aku kawinkan engkau dengan puteriku selama sebulan atau setahun, atau aku kawinkan engkau hingga selesai musim atau hingga kedatangan jamaah haji, atau semacamnya. Baik masanya diketahui atau tidak."

Jika seorang suami menetapkan syarat menceraikannya dalam pernikahan, walaupun masa waktunya tidak diketahui, maka itu adalah mut'ah; Tidak sah."

(Al-Mausu'ah Al-Fiqhiah, 41/344)

Apakah syarat ini disebutkan dalam akad tersebut atau tidak, selama telah disepakati waktunya, atau masing-masing telah saling mengetahui dalam pernikahan seperti itu, maka hukumnya sama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah, saat berbicara tentang pernikahan yang batil, mengatakan,

"Sama saja, apakah ditetapkan syarat di tengah akad pernikahan atau ditetapkan syarat sebelumnya, atau tidak disyaratkan secara lafaz, tapi telah disepakati masing-masing saat melamar, maka kondisi mempelai laki dan wanita, serta mahar, dianggap sama dengan kedudukan lafaz dalam syarat."

(Al-Bayan Ad-Dalil Ala Buthlani Tahlil)

Dia juga berkata, "Syarat-syarat yang diajukan saat akad sama dengan adanya korelasi, jika dia benar, maka dia harus dipenuhi. Jika syaratnya batil, maka hal itu berpengaruh pada akad."

Lihat juga, Al-Qawaid An-Nuraniah, 302-303

Kedua:

Wali nikah wanita berlaku secara tertib. Walinya adalah bapaknya, kemudian kakeknya, kemudian puteranya, kemudian saudara laki-lakinya, kemudian paman laki-lakinya, kemudian kerabat-kerabat terdekatnya. Jika tidak terdapat kerabat, maka hakim boleh menikahkannya. Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam;

السُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ ) رواه أبو داود (2083) وصححه الشيخ الألباني.

"Sultan (penguasa) adalah wali bagi orang yang tidak punya wali." (HR. Abu Daud, no. 2083, dinyatakan shahih oleh Al-Albany)

Jika hakim menikahkannya, padahala ada wali dari kerabatnya yang berhak, maka akad pernikahannya tidak sah, karena itu berarti melampaui kewenangan mereka.

Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni (7/22), "Jika ada wali jauh menikahkan, sementara wali dekat ada, lalu sang wanita menerima dia menikahkannya tanpa izin wali yang dekat, maka nikahnya tidak sah. Demikian dikatakan oleh Imam Syafii."

Al-Hijawi berkata dalam kitab Zadul Mustaqni, "Jika wali jauh atau non kerabat menikahkannya tanpa ada uzur, maka hal itu tidak sah."

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata dalam Asy-Syarhul Mumti (12/45)

"Jika wali jauh atau non kerabat menikahkannya tanpa uzur, maka pernikahannya tidak sah. Maksudnya jika wali yang dekat masih ada dan dia berhak menjadi wali, maka pernikahannya tidak sah. Berdasarkan hadis Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, "Kecuali dengan wali" penyebutan ini menunjukkan bahwa yang paling berhak adalah yang paling pertama lalu berikutnya dan berikutnya."

Beliau (Syekh Ibnu Utsaimin) rahimahullah juga pernah ditanya, "Seorang wanita dinikahkan oleh puteranya, padahal bapaknya masih ada. Apa hukum akad seperti ini?" 

Beliau menjawab, "Hendaknya ditinjau dulu, mana diantara mereka yang lebih berhak untuk menikahkannya; Bapaknya atau anaknya."

Jawabannya adalah bapaknya. Dialah yang lebih berhak menikahkannya. Jika puteranya yang menikahkannya sementara bapak masih ada, jika sang bapak berada di tempat yang jauh dan tidak mungkin dihubungi, maka hal itu tidak apa-apa. Atau misalnya jika sang bapak tidak bersedia menikahkannya dengan orang yang disukai puterinya, padahal orang itu layak dari segi agama dan akhlaknya, maka tidak mengapat ketika itu, puteranya menikahkannya. Adapun jika sang bapak ada dan bersedia menikahkan, maka (jika puteranya menikahkannya) hal itu tidak sah dan wajib diulang." (Liqo Bab Maftuh, no. 159)

Jika telah jelas bahwa pernikahannya batal, maka mereka wajib berpisah secara langsung. Jika mereka berdua satu sama lain ingin menikah, maka hendaknya mereka mengulangi akad nikahnya dengan ketentuan yang dibolehkan syariat.

Untuk menambah pemahaman tentang syarat pernikahan, silakan lihat jawaban soal no. 2127

Keempat:

Talak yang telah anda jatuhkan dianggap sebagai bagian dari jumlah talak, karena anda telah mentalak dalam pernikahan yang anda anggap sah.

Disebutkan dalam kitab "Kasyaful Qana (5/237), "Talak dianggap jatuh pada pernikahan yang diperselisihkan keabsahannya, seperti nikah dengan wali orang fasiq, atau dengan saksi fasiq, atau menikahi saudara perempuan saat saudara perempuannya masih dalam iddah, atau nikah syigar atau nikah muhallil atau pernikahan tanpsa saksi atau tanpa wali dan semacamnya."

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,

Adapun pernikahan yang diperselisihkan keabsahannya ada dua kondisi;

Pertama:

Orang yang menikah menganggapnya sah. Jika dia menganggap pernikahannya adalah sah, maka talaknya jatuh dan tidak ada masalah apa-apa bagi dia. Misal, seorang laki-laki menikahi wanita yang menyusui dengan ibunya sebanyak tiga susuan, sedangkan dia menganggap bahwa susuan yang menjadikannya haram dinikahi adalah apabila terdiri dari 5 kali susuan. Maka pernikahannya menurutnya adalah sah. Maka tidak diragukan bahwa talak dalam masalah ini dianggap jatuh.

Demikian pula jika seandainya dia menikahi seorang wanita tanpa saksi sedangkan dia berpendapat bahwa saksi dalam pernikahan bukan merupakan syarat sah pernikahan, maka ketika itu talaknya dianggap jatuh.

Kedua: Talaknya tidak jatuh. Mereka yang berpendapat bahwa talak seperti itu tidak jatuh berpendapat bahwa talak merupakan cabang dari pernikahan. Sedangkan dia tidak menggangga pernikahannya sah, maka talaknya tidak jatuh. Ini merupakan alasan bagus dan diterima. Adapun orang-orang yang berpendapat bahwa talaknya jatuh, mereka berkata: Meskipun dia tidak menganggap pernikahannya sah, tapi mungkin saja orang selainnya menganggap pernikahannya sah. Jika dia berpisah dengannya tanpa talak, lalu datang seseorang yang menganggap sah pernikahannya, maka dia tidak boleh menikahinya. Talak dianggap sah dalam pernikahan yang diperselisihkan keabsahannya, meskipun orang yang mentalak tidak menganggap sahnya pernikahan tersebut. Karena jika talaknya tidak jatuh, maka nasib wanita tersebut akan terkatung-katung.

Jika ada yang berkata, "Mengapa jatuh talak padahal dia tidak berpendapat bahwa nikahnya sah, dan talak adalah cabang dari pernikahan?"

Kami katakan, "Agar jangan menghalangi dia untuk menikah dengan laki-laki lain. Karena boleh jadi ada orang lain yang menginginkannya dan dia berpendapat bahwa pernikahannya sah. Jika suami tersebut tidak mentalaknya, maka dia tidak akan menikah dengan orang lain, karena laki-laki itu menganggap bahwa wanita tersebut masih dalam wewenangnya."

(Asy-Syarhul Mumti, 13/24)

Kesimpulannya, anda wajib menjauhi wanita tersebut karena pernikahannya tidak sah. Jika masing-masing ingin kembali, maka harus dengan akad yang baru dan dengan syarat-syarat yang berlaku tanpa mentalaknya. Jika tidak ada keinginan mengulang akad nikah, maka hendaknya wanita tersebut dicerai satu kali agar dapat dinikahi oleh orang lain, sebagaiman telah disebutkan sebelumnya.

Wallahua'lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam