Kamis 18 Ramadhan 1445 - 28 Maret 2024
Indonesian

Dalil Najisnya Darah Dan Ijmak Tentang Hal Tersebut

Pertanyaan

As-Syaukani rahimahullah mengatakan, najis-najis itu terdiri dari :

  1. Kotoran dan kencing manusia selain dari kencing anak lelaki kecil
  2. Air liur anjing
  3. Kotoran hewan
  4. Darah haid
  5. Daging babi

Adapun selain dari itu, tidak najis, meskipun itu kotor menurut pandangan seseorang. Karena tidak ada dalil akan keharamannya baik dari Qur’an maupun hadits kecuali kalau dimakan. Pertanyaanku adalah apa dalil akan najisnya darah manusia, hewan dan bangkai hewan? Apa pendapat terkuat dalam masalah ini, dimana masing-masing pendapat dengan tegas mengatakan bahwa pendapatkan diambil dari Qur’an dan hadits. Manakah yang harus saya ikuti?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Darah yang mengalir itu najis menurut kesepakatan para ulama. Yang menunjukkan hal itu dalil yang jelas dari Al Qur’an dan Sunah (Hadits).

Di antaranya Firman Allah Ta’ala:

قُل لاَّ أَجِدُ فِيمَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

(سورة الأنعام: 145)

“Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu kotor – atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Al-An'am: 145)

Imam At-Thabari rahimahullah mengatakan, “Kata ‘Ar-Rijsu’ adalah najis dan busuk.” (Jami’ul-Bayan, 8/53).

Sementara dalil dari Hadits Shaheh adalah dari Asma binti Abi Baakar radhiallahu anha, dia berkata:

جَاءَت امرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَت : إِحدَانَا يُصِيبُ ثَوبَهَا مِن دَمِ الحَيضَةِ كَيفَ تَصنَعُ بِهِ ؟ قَالَ : تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقرُصُهُ بِالمَاءِ ثُمَّ تَنضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ  (رواه البخاري، رقم 227 ومسلم، رقم 291)

“Seorang wanita mendatangi Nabi sallallahu’alaihi wa sallam dan bertanya, “Salah satu diantara kami, bajunya terkena darah haid, apa yang perlu kami lakukan? Beliau menjawab, “Dikerik kemudian digosok dengan air, lalu siramkan air, kemudian kamu dapat shalat dengannya.” (HR. Bukhari, no. 227 dan Muslim, no. 291)

Imam Bukhari membuat bab (Bab Membersihkan darah), sebagaimana Imam Nawawi juga membuat bab (Bab najisnya darah dan bagaimana cara membersihkannya). Hadits ini meskipun ada terkait dengan darah haid, cuma disana tidak ada perbedaan dengan darah lainnya. Maka semua darah itu satu jenis, dari mana saja tempat keluarnya.

Hukum ini tidak ada perbedaan dikalangan para ulama baik dari kalangan para shahabat, para tabiin dan empat Imam Madzhab.

Imam Ahmad ditanya tentang darah dan dikatakan kepadanya, “Apakah darah dan nanah menurut anda itu sama?

Maka beliau menjawab, “(Najisnya) darah tidak ada perbedaan sama sekali dikalangan ulama, adapun nanah itu masih ada perbedaan.” (Syarhu Umdatil Fiqhi, Ibnu Taimiyah, 1/105).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dalil-dalil najisnya darah itu sangat jelas, saya tidak mengetahui adanya perbedaan dari seorangpun dari kalangan ulama. Kecuali yang disampaikan pengarang Al-Hawi dari sebagian mutakallimin (ahli filsafat) bahwa dia mengatakan, “Dia (darah) itu suci.” Akan tetapi mereka (mutakalliminn) tidak dianggap dalam ijmak karena berbeda dari mazhab yang benar dari kalangan mayoritas ulama ushul dari rekan-rekan kami maupun dari yang lainnya. Terutama dalam permasalahan fikih.” (Al-Majmu, 2/576).

Telah dinukil adanya ijmak (konsensus) para ulama tentang najisnya darah. Banyak ulama besar yang menyatakan demikian, dinyatakan oleh Imam Ahmad dan Imam Nawawi, diantaranya juga Ibnu Hazm dalam kitab ‘Marotib Al-Ijma’ (hal/19) dan Ibnu Abdul Bar dalam kitab ‘At-Tamhid, (22/230) dan Qurtuby dalam tafsirnya ‘Al-Jami’ Liahkamil Qur’an, (2/210). Ibnu Rusyd dalam ‘Bidayatul Mujtahid, (1/79), Ibnu Hajar dalam ‘Fathul Barie, (1/352) dan ulama lainnya.

Lebih utama -sesuai landasan syariat dan logika- mengikuti pendapat ini (najisnya darah) karena para ulama telah menukilkannya secara mutawatir dan menetapkannya. Pendapat ini di dasari dari Nash yang jelas dari Kitab dan Sunnah. Ketetapan Syaukani dan pengikutnya yang mengatakan akan sucinya darah adalah pendapat yang lemah berlawanan dengan dalil dan Ijmak. Selayaknya jangan dijadikan perdebatan dan keraguan serta ketidak pastian, sebagaimana jangan menyangka bahwa para ulama ketika konsensus (ijmak) dalam suat permasalahan mereka tidak mempunyai dalil yang shahih dan jelas sebagaimana persangkaan sebagian penuntul ilmu dalam masalah najisnya darah dan permasalahan lainnya.

Wallahu a’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam