Freitag 19 Ramadhaan 1445 - 29 März 2024
German

Barang Siapa Yang Pada Pagi Hari Sudah Sarapan Kemudian Baru Mengetahui Bahwa Pada Hari Tersebut Adalah Asyura’ (10 Muharram), Maka Apa Yang Seharusnya Ia Lakukan ?

Frage

Jika pada tanggal 10 Muharram (‘Asyura’) ada salah seorang dari kami sudah makan, lalu setelah itu ia baru sadar bahwa pada hari tersebut adalah hari ‘Asyura’, maka apakah dibolehkan baginya untuk berpuasa pada sisa hari tersebut berdasarkan hadits berikut ini:

نَادَى مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ : " مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، وَمَنْ كَانَ أَكَلَ فَلا يَأْكُلَ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ".  • "أمنكم أحد طعم اليوم ؟ قال : فقلنا منا من طعم ومنا من لم يطعم . قال : فقال : أتموا بقية يومكم ، من كان طعم ومن لم يطعم ، وأرسلوا إلى أهل العروض ليتموا بقية يومهم". • "ليصوموا يوم عاشوراء ، فمن وجدت منهم قد أكل من صدر يومه فليصم آخره".

“Penyeru Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menyeru pada hari ‘Asyura’: “Barang siapa yang bangun di pagi hari dengan berniat puasa, maka hendaknya menyempurnakan puasanya dan barang siapa yang sudah makan maka janganlah makan pada sisa harinya.

Apakah di antara kalian sudah makan ?, ia berkata: “Di antara kami ada yang sudah makan dan ada yang belum makan. Beliau bersabda: “Lanjutkanlah pada sisa harinya bagi yang sudah makan dan bagi yang belum makan, sampaikanlah kepada penduduk sekitar agar mereka menyempurnakan hari mereka, agar mereka semuanya berpuasa pada hari ‘Asyura’, barang siapa anda mendapatkan di antara mereka telah makan pada tengah hari maka hendaknya berpuasa pada akhir harinya”.

Inhalt der Antwort

Alles Lob gebührt Allah..

Dibolehkan bagi yang ingin berpuasa sunnah untuk berniat puasa pada pada tengah hari, berbeda dengan puasa wajib yang disyaratkan adanya niat pada malam harinya.

“Dan yang menjadi syarat sahnya puasa sunnah yang berniat pada siang hari adalah tidak adanya penghalang puasa sebelum berniat, seperti; makan, minum dan yang lainnya. Jika sebelum niat telah melakukan hal yang membatalkan puasa, maka puasanya tidak sah sebagaimana yang telah disepakati”. (Al Mulakhkhos Al Fiqhi: 1/393)

Ibnu Qudamah Al Maqdisi berkata:

“Jika hal tersebut ditetapkan (puasa sunnah dengan niat pada siang hari), maka yang menjadi syaratnya adalah agar tidak makan sebelum berniat dan tidak mengerjakan hal yang membatalkan puasa, jika telah mengerjakan hal-hal yang membatalkan maka tidak sah puasanya, tanpa ada perbedaan dalam masalah ini sepengetahuan kami”. (Al Mughni: 3/115)

Adapun beberapa hadits yang ada tentang kondisi Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang menyampaikan kepada masyarakat untuk menyempurnakan puasa ‘Asyura’, baik bagi mereka yang sudah makan atau yang belum makan sebelum berniat; karena pada saat itu puasa ‘Asyura’ hukumnya masih wajib bagi mereka.

Dan pada puasa wajib, diwajibkan bagi yang mengetahuinya pada tengah hari agar menahan makan dan minum sesaat setelah ia mengetahuinya.

Al ‘Aini berkata tentang puasa ‘Asyura’: “Dahulu (puasa ‘Asyura’) masih wajib”. (‘Umdatul Qari: 10/304)

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata:

“Dapat disimpulkan dari banyak hadits bahwa dahulu puasa ‘Asyura’ hukumnya wajib; karena adanya perintah untuk berpuasa, lalu dikuatkan perintahnya, kemudian ditambahkan lagi penguat pada ajakan berpuasa secara umum, kemudian ditambah lagi dengan adanya perintah bagi siapa saja yang sudah makan agar tetap menahan, kemudian ada perintah lagi kepada para ibu agar tidak menyusui anak-anak pada hari itu. Dan dengan ucapan Ibnu Mas’ud yang tertera dalam riwayat Muslim: “Pada saat diwajibkan puasa Ramadhan maka beliau meninggalkan puasa ‘Asyura’, sebagaimana diketahui bahwa yang ditinggalkan bukan sunnahnya, puasa ‘Asyura’ tetap ada, maka hal ini menunjukkan bahwa yang ditinggalkan adalah kewajiban puasa ‘Asyura’nya”. (Fathul Baari: 4/247)

Imam Nawawi berkata:

“Ucapan beliau:

( مَنْ كَانَ لَمْ يَصُمْ فَلْيَصُمْ ، وَمَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيُتِمَّ صِيَامَهُ إِلَى اللَّيْلِ)

“Barang siapa yang tidak berpuasa maka berpuasalah, dan barang siapa yang sudah makan maka hendaknya menyempurnakan puasanya sampai malam tiba”.

Dan dalam riwayat yang lain:

( مَنْ كَانَ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، وَمَنْ كَانَ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ )

“Barang siapa yang pada pagi harinya berpuasa maka sempurnakanlah puasanya, dan barang siapa yang tidak berpuasa maka sempurnakanlah (puasanya) pada sisa harinya”.

Maksud dari kedua riwayat di atas adalah bahwa barang siapa yang sudah berniat untuk berpuasa maka sempurnakanlah, dan bagi siapa saja yang belum berniat dan belum sarapan atau sudah sarapan maka hendaknya menahan sepanjang sisa harinya untuk menghormati hari tersebut, sebagaimana seseorang yang tidak berpuasa pada hari ragu (H -1 hari raya idul fitri), lalu ternyata hari itu sebagai bulan Ramadhan, maka dia wajib menahan pada sisa harinya untuk menghormati hari Ramadhan tersebut”. (Syarah Shohih Muslim: 8/13)

Al Baaji berkata:

“Hal ini sama kedudukannya dengan orang yang baru saja dapat kabar kepastian berpuasa, dan pada hari itu ditetapkan Ramadhan, maka dia wajib untuk menahan, baik sudah makan atau belum makan”. (Al Muntaqa Syarah Muwattha’: 2/58)

Adapun setelah diwajibkan puasa Ramadhan, dan puasa ‘Asyura’ menjadi sunnah, maka hukum tersebut tidak berlaku lagi, akan tetapi hukumnya seperti halnya puasa sunnah lainnya, boleh berpuasa sunnah dengan niat pada siang hari, namun disyaratkan agar tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa.

Syeikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang seseorang yang tidak ingat dengan ‘Asyura’ kecuali pada tengah hari, apakah boleh tetap menahan pada sisa harinya, padahal dia juga sudah sarapan ?

Beliau –rahimahullah- menjawab:

“Jika dia tetap menahan pada sisa hari itu, maka puasanya tidak sah; karena dia sudah sarapan sebelumnya. Puasa sunnah itu akan sah mulainya di tengah hari bagi siapa saja yang belum sarapan sebelumnya. Adapun bagi mereka yang sudah sarapan sebelumnya maka tidak sah niat puasanya dengan menahan pada sisa harinya, dan karenanya upaya menahan tersebut tidak bermanfaat apa-apa kalau dia sudah makan dan minum atau perbuatan lainnya yang membatalkan puasa sebelumnya”. (Fatawa Nur ‘Ala Darb: 11/2 Sesuai dengan Maktabah Syamilah)

Wallahu A’lam

Quelle: Islam Q&A