Selasa 21 Syawal 1445 - 30 April 2024
Indonesian

Hukum Membeli Barang Curian Dan Memindahkannya Kepada Selain Pembeli

Pertanyaan

Orang tuaku membeli mesin dari orang kafir, perlu diketahui bahwa barang itu hasil curian. Bagaimana dalam pandangan agama tentang hal itu? Dan apa hukum syareat tentang harta yang diambil darinya dan digunakan untuk bisnis?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Tidak diperbolehkan memberi barang curian –meskipun dicuri dari orang-orang kafir – karena ia termasuk harta haram pada barangnya itu sendiri. dimana tidak dihalalkan seorangpun untuk memilikinya meskipun dengan cara yang disyareatkan seperti membeli, hibah dan warisan.

Seharusnya bagi orang yang mengetahui bahwa apa yang dibeli itu hasil curian, hendaknya mengingkari kepada pencurinya. Dan menyuruhnya bertaubat dari pencuriannya, serta mengembalikan kepada pemiliknya. Dan berusaha untuk mengembalikan barang curiannya kepada pemiliknya jika memungkinkan hal itu dan diketahui orangnya. Atau memberitahukan tempat barangnya yang dicuri, atau memberitahukan institusi yang bertanggung jawab akan hal itu. Siapa yang membeli barang sementara dia mengetahui itu adalah hasil curian, maka dia berdosa. Diantara kesempurnaan taubatnya adalah mengembalikan barangnya kepada pemiliknya dan meminta dananya kepada orang yang menjual kepadanya.

Membeli dari pencuri termasuk membantu pada dosa dan permusuhan, dan memberi semangat kepada pencuri untuk terus melanjurkan pekerjaannya, dan termasuk meninggalkan mengingkari suatu kemungkaran, sebagaimana juga syarat sahnya pembelian adalah penjual memiliki barang yang dijualnya. Kalau dia pencuri, maka dia bukan sebagai pemiliknya. Hal ini mengharuskan membatalkan akad (penjualan). Berikut ini fatwa-fatwa dari ahli ilmu terkait kasus tadi:

  1. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,”Harta yang digosob dan dipegang dengan akad yang tidak diperbolehkan untuk memegangnya, kalau orang Islam mengetahuinya, maka dia harus menjauhinya, siapa yang mengetahui kalau mencuri harta atau mengkhianati amanatnya atau menggosob dan mengambil orang yang digosobi secara paksa tanpa dibenarkan, maka saya tidak memperbolehkan untuk mengambil darinya. Baik dengan cara hibah, atau pengambilan, juga tidak untuk memenuhi upahnya dan harga barang yang dijualnya, juga tidak boleh untuk memenuhi untuk hutang, karena hal ini adalah harta itu sendiri untuk orang yang didholimi. Selesai ‘Majmu’ Fatawa, (29/323).
  2. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengatakan,”Kalau barang yang bersama mereka –maksudnya Tatar- atau bersama selain mereka harta yang dikenal itu mereka ambil secara paksa dari orang yang terjaga, maka hal itu tidak boleh membelinya bagi orang yang memilikinya. Akan tetapi kalau dibeli dengan cara untuk menyelamatkan dan menyalurkan ke penyaluran yang sesuai syareat sehingga bisa dikembalikan kepada pemiliknya kalau memungkinkan. Kalau tidak bisa, disalurkan untuk kepentingan umat Islam, maka hal itu diperbolehkan. Selesai ‘Majmu’ Fatawa, (29/276).
  3. Ulama’ yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta’ mengatakan,”Kalau seseorang yakin bahwa barang yang dipajang untuk dijual itu adalah hasil curian atau dari gosob atau apa yang dipajangkan itu tidak dimiliknya dengan pemilikan secara syar’I, bukan juga sebagai wakil untuk menjualkannya, maka diharamkan untuk membelinya karena dengan membelinya termasuk kerja sama dalam dosa dan permusuhan. Termasuk menghilangkan barang dari pemilik yang sebenarnya. Karena didalamnya juga termasuk kedholiman kepada orang, mengakui akan kemungkaran dan keikut sertaan orangnya dalam dosa, sementara Allah ta’ala berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

المائدة/2

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” QS. Al-Maidah: 2

Dari situ, maka selayaknya bagi orang yang mengetahui kalau barang ini hasil curian atau gosob, hendaknya dia menasehati kepada orang yang mencurinya dengan lemah lembut dan penuh bijaksana agar mengembalikan dari apa yang dicurinya. Kalau tidak mengembalikan dan tetap bersikeras atas kejahatannya, maka hendaknya dia melaporkan kepada instansi khusus yang menangani hal itu agar pelakunya diciduk dan mendapatkan balasan yang setimpal atas kejahatannya. Agar dapat mengembalikan hak kepada pemiliknya. Hal itu termasuk tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Karena hal itu juga menjadi pelajaran bagi orang dholim atas kedholimannya. Dan menolong kepada orang yang didholiminya.

Oleh karena itu telah ada ketetapan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

انصر أخاك ظالما أو مظلوما ) قالوا: يا رسول الله : هذا ننصره مظلوماً ، فكيف ننصره ظالماً ؟ قال: (تأخذ فوق يديه )  أخرجه البخاري في صحيحه وأخرج الإمام أحمد في  " المسند " نحوه ، وفي رواية أخرى : فقال رجل : يا رسول الله : أنصره إذا كان مظلوماً ، أفرأيت إذا كان ظالما كيف أنصره ؟ قال: (تحجزه عن الظلم ، فإن ذلك نصره )

“Tolonglah saudaramu ketika berbuat dholim atau didholimi. Mereka (para shahabat) bertanya,”Wahai Rasulullah, ini orang yang didholimi kita bisa menolongnya, bagaimana cara menolong yang yang berbuat kedholiman? Beliau menjawab, “Kamu mengambil di atas kedua tangannya. HR. Bukhori di shohehnya dan dikeluarkan Imam Ahmad di ‘Musnad’ seperti itu. Dalam riwayat lainnya, ada seseorang bertanya,”Wahai Rasulullah, saya dapat menolongnya kalau dia didholimi, bagaimana kalau dia berbuat kedholiman, bagaimana saya menolongnya? Maka beliau bersabda,”Anda menahan dari kedholimannya, itu cara menolongnya.

Dari situ, maka cara menolong orang berbuat dholim dengan memberi efek jera terhadap kedholiman dan kejahatannya. Sementara menolong orang yang didholimi adalah berusaha untu mengembalikan hak kepadanya. Dan menahan orang dholim memberikan kesempatan menyakitinya hal itu termasuk fardhu kifayah. Kalau tidak ada yang melakukan hal itu secara resmi, atau orang yang lebih kuat darinya untuk mengambil dari tangan orang dholim dan orang berbuat maksiat kepada Allah, serta memberi efek jera dari kedholiman dan kejahatannya, maka urusan ini menjadi suatu keharusan atasnya sesuai dengan kemampuannya disertai dengan cara lemah lembut. Maka dia akan mendapatkan pahala akan hal itu insya Allah ta’ala. Selesai

Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdul Aziz Ali Syekh, Syekh Sholeh Al-Fauzan, Syekh Bakr Abu Zaid. Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, (13/82, 83).

  1. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya,”Saya ditawari barang, saya baru tahu kalau barang itu curian. Cuma orang yang menawarkan barang itu bukan pencurinya, akan tetapi dia membeli dari orang lain yang membeli dari pencuri. Kalau sekiranya saya membelinya padahal saya mengetahui akan hal itu, apakah saya berdosa, padahal saya belum mengetahui pemiliknya yang dicurinya?

Maka beliau menjawab,”Yang nampak dari dalil syar’I bahwa hal itu tidak diperbolehkan bagi anda untuk membelinya kalau anda telah mengetahuinya atau dalam persangkaan kuat anda bahwa barang itu hasil curian. Berdasarkan firman Allah ta’ala:

 وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” QS. AL-Maidah: 2

Karena anda mengetahui atau dalam persangkaan kuat anda bahwa penjual itu bukan pemilik secara syar’I dan dia juga tidak diizinkan secara syar’I menjualnya. Bagaimana anda membantu atas kedholimannya dan anda mengambil harta orang lain tanpa dibenarkan. Ya, kalau memungkinan membeli dalam rangka untuk menolong dan mengembalikan kepada pemiliknya, hal itu tidak mengapa. Kalau tidak mudah, maka bisa diambil dengan secara paksa. Dan menghukum orang yang berbuat kedholiman. Kalau memungkinkan diambil secara paksa dan memberi hukuman kepada pelaku kedholiman dengan hukum sesuai syariat, ini adalah yang wajib dilakukan berdasarkan dalil yang telah diketahui dari hadits:

انصر أخاك ظالما أو مظلوماً

“Bantulah saudara kamu baik dia berbuat kedholiman atau terdholimi. Alhadits.

Selesai ‘Fatawa Syekh Ibnu Baz, (19/91-92).

Kedua:

Sementara pengambilan harta dari orang tua anda, hal itu tidak mengapa, karena uangnya bercampur bawur, maka di dalamnya ada yang haram dan ada yang halal. Maka tidak mengapa berinteraksi dalam jual beli, hibah, pinjaman dan semisal itu. Dahulu Nabi sallallahu’alaihi wa sallam berinteraksi dengan orang Yahudi sementara mereka memakan riba dan harta yang haram.

Akan tetapi kalau harta yang anda ambil dari orang tua anda itu adalah harta hasil dari curian itu sendiri, maka hal ini tidak dihalalkan bagi orang tua dan bagi anda juga.

Terakhir kali, selayaknya anda menasehati orang tua anda agar berhati hati dengan harta yang halal dan menjauhi yang haram. Karena setiap badan yang tumbuh dari harta haram, maka neraka itu lebih layak untuknya.

Kita memohon kepada Allah ta’ala semoga Allah mencukupkan dengan harta halal dari yang haram dan dengan keutamaan-Nya dari selain-Nya.

Wallahua’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam