Jum'ah 19 Ramadhan 1445 - 29 Maret 2024
Indonesian

Khulu’, Definisi Dan Caranya

Pertanyaan

Apa itu khulu’? dan bagaimana cara yang benar? Kalau suaminya tidak ingin menceraikan istrinya apa mungkin jatuh talak? Bagaimana dengan masyarakat Amerika, dimana seorang wanita tidak menyukai suaminya (pada sebagian kondisi karena dia taat beragama) (wanita) itu mengira dia mempunyai kebebasan dapat menceraikan suaminya?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Khulu’ adalah berpisahnya istri dengan pengganti. Sehingga seorang suami mengembil pengganti dan memisahkan istrinya. Baik pengganti ini adalah mahar yang diberikan kepadanya lebih banyak atau lebih sedikit. Asalnya adalah firman Allah Ta’ala:

( وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ) البقرة / 229 .

“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” QS. AL-Baqarah: 229.

Dalil akan hal itu adalah dari sunah bahwa istri Tsabit bin Qois bin Syimas radhiallahu anhu mendatangi Nabi sallallahu alaihi wa sallam seraya mengatakan, “Wahai Rasulullah, Tsabit bin Qois saya tidak mencela akhlak dan agamanya. Akan tetapi saya tidak menyukai kekufuran dalam Islam. Maka Nabi sallallahu alaihi wa sallam mengatakan kepadanya, “Apakah anda mau mengembalikan kebunnya? Dimana (suaminya) memberi mahar kepadanya kebun. Dia berkata,”Ya.  Maka Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Terimahlah kebun dan pisahkan dia.” HR. Bukhori, 5273.

Maka para ulama mengambil dari kisah ini bahwa wanita kalau tidak mampu tetap bersama suaminya, maka walinya meminta kepada (suaminya) khulu’. Bahkan memerintahkan akan hal itu. Gambarannya adalah seorang suami mengambil pangganti atau apa yang disepakati kedua belah fihak kemudian suami mengatakan kepada istrinya ‘Saya pisah anda atau saya khulu’ anda dan semisal kata itu.

Talak (cerai) adalah hak suami, tidak akan jatuh talak kecuali dia (suami) yang menjatuhkannya berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi  wa sallam:

إنما الطلاق لمن أخذ بالساق يعني الزوج )  رواه ابن ماجه ( 2081 ) وحسنه الألباني في إرواء العليل ( 2041 )

“Sesungguhnya talak bagi orang yang mengambil lutut maksudnya adalah suami.” HR. Ibnu Majah, 2081. Dinyatakan hasan oleh Albani di ‘Irwa’ Golil, 2041.

Oleh karena itu para ulama mengatakan, siapa yang dipaksa menceraikan istrinya secara dholim dan dia menceraikan karena terpaksa, maka talaknya tidak jatuh. Silahkan melihat ‘Al-mugni, (10/352).

Sementara apa yang anda sebutkan bahwa wanita di tempat anda terkadang menceraikan dirinya sendiri lewat undang-undang setempat. Kalau hal itu disebabkan sesuatu yang boleh dia meminta talak seperti kalau dia tidak menyukai suami dan tidak mampu bertahan bersamanya atau dia tidak menyukai agamanya karena kefasikan dan lantang melanggar sesuatu yang haram dan semisal itu, maka tidak mengapa dia meminta talak, akan tetapi dalam kondisi seperti ini adalah mengkhulu’nya. Sehingga dia mengembalikan mahar yang telah diberikan kepadanya.

Kalau permintaan cerai (talak) tanpa ada sebab, maka hal itu tidak diperbolehkan, dan putusan pengadilan dalam kondisi seperti ini, tidak diakui dalam agama sehingga wanita itu tetap menjadi istri bagi lelaki tersebut. Disini terjadi masalah, yaitu wanita ini dianggap telah bercerai dihadapan pengadilan, terkadang dia menikah setelah selesai masa iddahnya. Padahal hakekatnya dia tetap istri belum terceraikan.

Syekh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah berkata terkait permasalahan seperti ini, “Kita sekarang di depan masalah. Tetapnya dia dalam perlindungannya, menghalanginya untuk menikah dengan lelaki lain. Secara dohir sesuai putusan pengadilan dia telah diceraikan dari suaminya. Kalau dia selesai iddahnya diperbolehkan menikah. Saya berpendapat agar keluar dari permasalahan ini, agar ada orang baik yang ikut serta menyelesaikan masalah ini agar bisa berdamai antara suami dan istri. Kalau tidak bisa, maka (istri) memberikan ganti ke (suami) agar terjadi khulu’ secara benar sesuai agama.

Liqo’ Bab Maftuh bersama Syekh Muhammad bin Utsaimin, no. 54 (3/174) percetakan Darul Basyiroh di Mesir.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam