Jum'ah 19 Ramadhan 1445 - 29 Maret 2024
Indonesian

Suaminya Tidak Perhatian Sama Anak-anaknya Dan Membawanya Kepada Ahli Bid’ah

Tanggal Tayang : 30-10-2015

Penampilan-penampilan : 5289

Pertanyaan

Suami saya menyekolahkan anak saya darinya di madrasah Islam, namun saya mengetahui bahwa madrasah tersebut adalah madrasah yang menganggap remeh masalah agama. Anak kami berusia 7 tahun, dan belum belajar Qur’an atau surat apapun sebelumnya. Saya pernah mengajarinya dengan terjemah ke dalam bahasa Inggris, karena saya tidak bisa berbahasa Arab. Saya pernah membicarakan masalah ini dengan dengan suami, namun ia menghalangi saya atau justru ia menjadikan itu alasan untuk menyekolahkan anaknya di sekolah yang terkenal dengan dengan bid’ahnya. Anak-anaknya dengan istri yang lain, mereka juga belajar di madarasah tersebut, mereka bisa membaca al Qur’an dengan dengan bahara Arab dengan lancar.
Apa yang harus saya lakukan dalam masalah ini ?, saya ingin anak saya belajar al Qur’an namun madrasah yang menjadi pilihannya menganggap remeh (masalah agama), sedangkan madrasah yang lain yang sangat memperhatikan masalah agama dijauhi oleh masyarakat umat Islam di daerah kami. Masjid pada kadar tertentu sudah melakukan perannya akan tetapi dengan bahasa sederhana.
Demikian juga bahwa suami saya pergi ke masjid tersebut bersama istri yang lain, sedangkan saya pergi ke masjid di kampung sebelah yang mengikuti sunnah dan tidak mengikuti madzhab tertentu. Hal ini menyebabkan masalah bagi saya, bahwa suami saya tidak memahami peringatan para ulama khususnya tentang madzhab-madzhab. Dan ia menolak jika saya ajak untuk tidak mengikuti madzhab.
Saya akan memberikan apresiasi kepada anda insya Allah, jika anda memberikan arahan-arahan terkait dengan masalah ini.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Kami berterima kasih kepada saudari penanya karena kesungguhannya untuk mengajari anaknya tentang al Qur’an; karena yang demikian itu termasuk pendidikan yang baik, kami memohon kepada Allah petunjuk dan pertolongan bagi anda.

Kedua:

Nasehat bagi penanya tersebut adalah agar ia harus bersungguh-sungguh untuk belajar bahasa Arab; karena bahasa Arab adalah sebaik-baik sarana baginya untuk menambah pengetahuan dan ilmunya tentang agama yang agung ini. Selanjutnya ia bisa mengajari anaknya apa saja dengan ilmu yang bermanfaat; karena seorang ibu ia akan memiliki banyak pengaruh kepada anak-anaknya dari pada yang lain.

Ketiga:

Nasehat bagi suaminya, agar ia bertaqwa kepada Allah –Ta’ala- dan untuk berbuat adil kepada anak-anaknya dari sisi perhatian dan kesungguhannya untuk mengajari mereka apa yang bermanfaat bagi agama dan dunia mereka, induk dari semua itu adalah kitabullah dan sunnah Rasul-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sebagaimana di dalam hadits Nu’man bin Basyir –radhiyallahu ‘anhu- berkata: Saya pernah diberi sesuatu oleh bapak saya. Maka Umrah binti Rawahah berkata: Saya tidak rela hingga disaksikan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Maka ia mendatangi Rasulullah  –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan berakat: “Sungguh saya telah memberikan kepada anak laki-laki saya dari Umrah binti Rawahah sesuatu. Maka ia menyuruhku untuk disaksikan oleh anda wahai Rasulullah , beliau bersabda:

أعطيتَ سائر ولدك مثل هذا ؟ قال: لا ، قال : فاتقوا الله واعدلوا بين أولادكم ، قال : فرجع فردَّ عطيتَه . رواه البخاري ( 2447 ) ومسلم ( 1623 (

“Apakah engkau memberikan kepada semua anak-anakmu seperti ini ?”, ia menjawab: “Tidak”. Beliau bersabda: “Maka bertaqwalah kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anakmu”. Ia menjawab: maka ia kembali dan mengembalikan pemberiannya tersebut”. (HR. Bukhori 2447 dan Muslim 1623)

Pokok pikiran dalam hadits tersebut adalah: Bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengingkari orang tua Nu’man pemberiannya kepada anaknya, yang tidak diberikan kepada semua anak-anaknya. Termasuk dalam hal tersebut adalah jika seseorang mengkhususkan salah satu anak-anaknya dengan pemberian tertentu yang tidak didapat oleh yang lain, seperti: pengajaran atau yang lainnya. Sebagaimana sebagai orang tua ia menyukai jika semua anak-anaknya berbakti dan taat kepadanya, maka ia harus berlaku sama kepada mereka dalam segala hal. Dan di antara sebab munculnya hasad (rasa iri) dan kebencian di antara sesama saudara karena seorang ayah mengutamakan salah seorang dari anak-anaknya atau lebih mencintai salah satunya dari pada saudaranya yang lain.

Dan dalam peristiwa Nabi Yusuf menjadi saksi yang sangat jelas akan hal tersebut, Allah –Ta’ala- berfirman:

إذ قالوا ليوسف وأخوه أحب إلى أبينا منا ونحن عصبة إن أبانا لفي ضلال مبين اقتلوا يوسف أو اطرحوه أرضا يخل لكم وجه أبيكم وتكونوا من بعده قوما صالحين يوسف / 8 ، 9 .

“(Yaitu) ketika mereka berkata: "Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita daripada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata. Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik." (QS. Yusuf: 8-9)

Keempat:

Seorang suami harus memperhatikan pendidikan anak-anaknya tentang ilmu syariah, khususnya bahasa Arab dan al Qur’an terlebih diajarkan sejak kecil; karena pendidikan sejak kecil akan melekat di dalam fikiran lebih lama dari pada pendidikan pada saat dewasa, sebagaimana pepatah Arab mengatakan:

: " العلم في الصغر كالنقش في الحجر "

“Belajar di waktu kecil laksana melukis di atas batu”.

Dan sangat diutamakan jika seorang muslim yang hidup di negara-negara yang banyak fitnah dan gangguan, khususnya anak-anak dengan banyaknya permainan yang melenakan.

Kelima:

Kewajiban seorang muslim agar mengikuti al Qur’an dan Sunnah; karena keduanya sumber Syari’at Ilahiyyah. Allah –Tabaraka wa Ta’ala- berfirman:

( يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله و أطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا ) النساء / 59 .

“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An Nisa’: 59)

Dan di dalam hadits Jabir bin Abdullah –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

" وقد تركت فيكم ما لن تضلوا بعده إن اعتصمتم به كتاب الله " . رواه مسلم ( 1218 (

“Dan saya telah meninggalkan kepada kalian sesuatu yang dengannya kalian tidak akan tersesat, jika kalian berpegang teguh kepadanya, yaitu; kitabullah”. (HR. Muslim 1218)

Dasar hidayah adalah mengikuti al Qur’an dan Sunnah, bukan mengikuti pendapat seseorang siapapun dia, bukan berarti kami merendahkan derajat para ulama –rahimahumullah-, akan tetapi kami meminta bantuan kepada pendapat mereka untuk memahami al Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman yang benar dan mengetahui hukum-hukum syari’at. Madzhab-madzhab yang ada tidak seorang muslim pun mengingkarinya, apalagi meremehkannya, bahkan tidak masalah jika seorang muslim mendalaminya, mengambil manfaat darinya. Akan tetapi yang diingkari dari para tokoh madzhab tersebut adalah adanya ta’ashub kepada madzhab, taklid buta, mengharuskan diri untuk mengamalkan madzhab tertentu meskipun menyelisihi hasits yang shahih dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sedangkan pada imam madzhab-madzhab yang ada tidak bersengaja menyelisihi hadits Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, namun sebagaimana diketahui bersama bahwa para sahabat Nabi menyebar di berbagai kota dan daerah, dan para tokoh madzhab memberi fatwa dan berbicara tentang halal dan haram sesuai dengan dalil-dalil yang sampai kepada mereka, padahal bisa jadi mereka melewatkan beberapa hadits lain yang belum mereka terima baik jumlahnya sedikit maupun banyak. Maka mereka berijtihad dalam masalah yang mereka belum mengetahui haditsnya, namun ternyata sebagian ijtihad mereka itu menyelisihi sunnah. Oleh karena itu kewajiban seorang muslim dalm kondisi seperti ini adalah mengikuti sunnah, dan tetap menghormati para tokoh madzhab dengan meyakini bahwa mereka tetap mendapat pahala dengan ijtihad mereka, antara satu atau dua pahala sebagaimana sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Para imam madzhab tersebut-rahimahullah- telah menyuruh kita untuk mengikuti sunnah dan meninggalkan pendapat mereka yang menyelisihi sunnah tersebut:

Imam Abu Hanifah –rahimahullah- berkata:

إذا صح الحديث فهو مذهبي

“Jika ada sebuah hadits yang shahih, maka itulah madzhabku”.

Beliau juga berkata:

لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا ما لم يعلم من أين أخذناه .

“Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami, selama ia belum mengetahui dari mana sumber kami”.

Beliau juga berkata:

إذا قلت قولا يخالف كتاب الله وخبر رسول الله فاتركوا قولي .

“Jika saya berpendapat yang menyelisihi kitabullah dan hadits Rasulullah, maka tinggalkanlah pendapatku”.

Imam Malik bin Anas –rahimahullah- berkata:

إنما أنا بشر أخطىء وأصيب فانظروا في رأيي فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوه ، وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه .

“Sesungguhnya saya adalah manusia yang bisa salah dan bisa benar, maka perhatikanlah pendapatku, semua yang sesuai al Qur’an dan Sunnah maka ambillah, dan semua yang tidak sesuai keduanya maka tinggalkanlah”.

Imam Syafi’i –rahimahullah- berkata:

إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت .

“Jika kalian mendapatkan di dalam buku saya yang menyelisihi sunnah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka ambillah sunnah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan tinggalkanlah perkataanku”.

Imam Ahmad –rahimahullah- berkata:

لا تقلدني ولا تقلد مالكا ولا الشافعي ولا الأوزاعي ولا الثوري وخذ من حيث أخذوا .

“Janganlah bertaklid kepadaku dan janganlah bertaklid kepada Malik, juga Syafi’i, Auza’i, juga ats Tsauri, dan ambillah dari mana mereka mengambil (pendapat mereka)”.

Artinya bahwa para imam (madzhab) menolak jika ada orang yang berta’ashub kepada pendapat mereka tanpa mengetahui dalilnya, khususnya pendapat yang menyelisihi al Qur’an dan Sunnah, karena mereka juga manusia yang tidak ma’shum (terjaga dari dosa), namun kita semua hendaknya mengakui kemampuan, keutamaan dan derajat mereka dalam masalah ilmu, kita juga mengambil manfaat dari ilmu pendapat mereka tanpa ta’ashub kepada mereka.

Keenam:

Adapun sekolah yang lain yang disebutkan oleh penanya yang dikenal dengan banyak mengandung bid’ah akan tetapi menaruh perhatian serius pada al Qur’an, maka bagi penanya agar melihat kemaslahatan bagi anak-anaknya, dan timbang-timbanglah antara maslahat dan madharatnya, jika memungkinan untuk tidak berada di sekolah ini dengan mengadakan sekolah (bebas bid’ah) atau semacamnya khsusus untuk anak-anak. Merupakan bentuk kewaspadaannya terhadap anak-anaknya, maka ia menarik diri dari sekolah yang mengandung bid’ah. Apalagi jika bid’ah tersebut termasuk dalam kategori perkara besar yang menyebabkan penyimpangan dari manhaj ahlus sunnah wal jama’ah.

Namun, jika bid’ah tersebut tergolong ringan dan tidak melebihi batasan di atas, maka menjadi lebih mudah untuk menjelaskan dan memberi peringatan kepada anak-anak, dan tidak ada sekolah lain kecuali sekolah tersebut maka tidak masalah -insya Allah- untuk mensekolahkan mereka pada sekolah tersebut dengan tetap waspada, dan jika pada kemudian hari ternyata berpengaruh pada anak-anak anda, maka wajib segera untuk melarang mereka pergi sekolah di sana lagi.

Ketujuh:

Tidak diragukan lagi bahwa seorang ustadz yang mengajarkan Al Qur’an dan Sunnah kepada orang, yang beliaunya sangat berhati-hati untuk memilih hadits yang shahih dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- itu lebih baik dari yang lainnya. Bahkan seorang muslim harus mengutamakannya untuk istifadah dari beliau untuk dirinya, istri, dan anak-anaknya.

Menjadi nasehat bagi seorang suami agar mendengarkan nasehat istrinya yang berkomitmen dalam mengikuti al Qur’an dan Sunnah, dan agar mengajari istri dan anak-anaknya tentang bahasa Arab dan al Qur’anul Karim, berlaku adil pada anak-anaknya, berpegang teguhh pada al Qur’an dan Sunnah, tidak berta’ashub pada madzhab tertentu pendapat yang menyelisihi sunnah, dan menjadi mudah menerima masukan dari istrinya, mencoba dan mengamalkan nasehatnya, semoga Allah melapangkan dadanya dan memberinya hidayah untuk mengamalkan kebaikan.

Kami memohon kepada Allah petunjuk-Nya bagi penanya, dan memberikan kepadanya keutamaan dan pertolongan-Nya, dan menetapkannya pada kebenaran.

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam