Donasi untuk situs islamqa.info

Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah

Kapan Berbuka Orang Yang Tinggal Di Puncak Menara

24-06-2016

Pertanyaan 220838

Kalau seseorang tinggal di Menara (Burj) Kholifah di Dubai dimana ketinggian mencapai 160 tingkat. Apakah berbuka dengan azan magrib di kota tersebut atau apa yang dilakukan?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Syariat telah menjadikan selesainya puasa alamat dengan jelas dan terang, yaitu terbenamnya matahari di balik ufuk. Kalau matahari telah terbenam, maka orang berpuasa dihalalkan berbuka. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ (سورة البقرة: 187)

“Kemudian sempurnakan puasa hingga malam.” (QS. Al-Baqarah:  187)

Permulaan malam dimulai dengan terbenamnya matahari, sebagaimana Terdapat penjelasan hal ini dalam jawaban soal no. 110407. Dan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا [يعني من جهة المشرق ] ، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا [ يعني من جهة المغرب) فقد أَفْطَرَ الصَّائِمُ (رواه البخاري، رقم 1954، ومسلم، رقم 1100)

“Ketika malam telah datang Dengan demikian (maksudnya dari arah timur) dan siang telah meninggalkan dari sana (maksudnya dari arah barat) maka orang berpuasa diperbolehkan berbuka.” (HR. Bukhori, no. 1954 dan Muslim, no. 1100)

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Selesai dan sempurnanya puasa dengan terbenamnya matahari sesuai ijma’ umat Islam.” (Al-Majmu Syarh Muhazab, 6/304)

Maksud terbenam adalah tenggelam dan bersembunyi bundaran matahari. Adanya merah di ufuk tidak berpengaruh, apabila bulatan matahari hilang, maka telah dihalalkan berbuka.”

Al-Hafiz Ibnu Rajab mengatakan,”Hadits ini menunjukkan bahwa hanya dengan terbenamnya bundaran (matahari) maka telah masuk waktu magrib, sebagaimana orang berpuasa diperbolehkan berbuka juga. Ini termasuk ijmak dari kalangan ahli ilmu. Hal ini dinyatakan oleh Ibnu Munzir dan lainnya.

Rekan-rekan kami dari mazhab Syafiiyah serta lainnya mengatakan, “Adanya sisa cahaya merah yang sangat di langit tidak dianggap setelah terbenamnya bulatan matahari dan hilang dari pandangan mata.” (Fathul Bari, (4/352) dengan sedikit ringkasan)

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Ketika bundaran matahari telah terbenam, maka waktu itu orang berpuasa diperbolehkan berbuka dan hilang waktu larangan. Tidak berdampak sedikitpun sisa merah sangat yang ada di ufuk dari sisi hukum.” (Syarh Umdahul Fiqh, hal. 169)

Kedua:

Telah diketahui bahwa terbenamnya matahari berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, dari suatu negara ke negara lain. Begitu juga berbeda satu tempat bagi orang yang tinggal di bawah atau tempat tinggi. Karena syari’at mengaitkan berbuka dengan terbenamnya bulatan matahari. Maka setiap orang mempunyai hukum sesuai tempat dimana dia berada waktu terbenam. Maka jangan berbuka sebelum matahari terbenam dari tempat dia berada, baik di tempat lain sudah terbenam maupun belum. Siapa yang tinggal di puncak menara tidak berbuka meskipun matahari telah terbenam bagi orang yang tinggal di bumi, sampai terbenam matahari dari ufuk dari pandangannya.

Fakhrudin Zaila’i berkata, “Diriwayatkan bahwa Abu Musa Ad-Dhorir Al-Faqih pemilik kitab ‘Al-Mukhtasor Qodimil Iskandariyah’, ditanya tentang orang yang naik menara Iskandariyah maka dia melihat terbenamnya matahari lebih lama setelah matahari terbenam  dari para penduduk di kota. Apakah dia dihalalkan berbuka? Maka beliau menjawab, “Tidak dan diperbolehkan bagi penduduk kota. Karena masing-masing terkena kewajiban sesuai dengan posisinya.” (Tabyinul Haqoiq, 1/321).

Ibnu Abidin mengatakan, “Dalam kitab Al-Faidh dikatakan, ‘Siapa yang berada di tempat tinggi seperti menara Iskandariyah, tidak boleh berbuka selagi matahari belum terbenam baginya. Sementara penduduk kota diperbolehkan berbuka sebelumnya kalau matahari terbenam dari pandangan mereka. Begitu juga patokan terkait terbit (fajar) bagi yang menunaikan shalat Fajar atau sahur.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 2/420).

Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri mengatakan, “Dalam kitab-kitab Fikih, Bahwa ada dua orang, salah satunya di puncak menara masih melihat matahari, sementara yang lain di atas bumi dan matahari telah terbenam dari penglihatannya. Maka yang kedua diperbolehkan berbuka bukan yang pertama.” (Faidhul Barie, 3/355)

Dalam Fatwa Al-Lajnah Daimah, (10/297), “Masing-masing orang yang berpuasa mempunyai hukum sesuai keberadaannya. Baik di atas bumi atau di dalam pesawat di atas udara.”

Syekh Ibnu Utsaimin berkata, “Orang yang di pegunungan atau di puncak menara, masing-masng mempunyai hukumnya. Siapa yang mendapatkan matahari terbenam, maka dia diperbolehkan berbuka. Bagi yang tidak, maka tidak boleh berbuka.” (Syarkh Mumti’, 6/398).

Beliau juga mengatakan, “Kalau muazin azan sementara anda di tempat tinggi masih menyaksikan matahari, maka jangan berbuka.” (Liqo Syahri, 41/22 dengan penomoran Syamilah)

Begitu juga bagi penumpang pesawat, mereka tidak boleh berbuka sampai terbenam matahari bagi mereka.

Para Ulama Lajnah Daimah mengatakan, “Kalau orang berpuasa di dalam pesawat, dan melihat lewat jam dan telpon waktu berbuka di negara terdekat sementara dia masih melihat matahari karena ketinggian pesawat, maka dia tidak diperbolehkan berbuka. Karena Allah Ta’ala berfirman “Kemudian sempurnakan puasa sampai malam.” Tujuan akhir ini belum terealisasi padanya selagi masih melihat matahari.” (Fatawa Lajnah Daimah, 10/137).

Syekh Ibnu Utsaimin ditanya, “Di Bulan Ramadan, kami ketika bepergian masih berpuasa. Disela-sela bepergian ini, kami mendapatkan malam sementara kami di udara. Apakah kami diperbolehkan berbuka ketika kami melihat terbenamnya bulatan matahari di depan kami atau kami berbuka memakai penentuan waktu penduduk negara yang kami lewati di atasnya?

Maka beliau menjawab, “Berbukalah ketika anda melihat matahari telah terbenam. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam, “Ketika malam datang Dengan demikian dan matahari telah terbenam, maka orang berpuasa boleh berbuka.” (Majmu Fatawa Wa Rasail Utsaimin, 15/437). Silahkan lihat jawaban soal no. 106475.

Kesimpulannya: seharusnya orang yang tinggal di menara tinggi memperhatikan perbedaan penentuan waktu terbenamnya matahari antara orang yang di atas bumi dan tempat dimana dia berada. Institusi Ifta’ dan Urusan Keislaman Dubai telah menjelaskan bahwa penghuni yang tinggal di menara Kholifah yang terdiri dari 160 tingkat, mereka diminta mengakhirkan berbuka di bulan Ramadan. Penghuni yang tinggal di tingkat 80 sampai 150 diminta berbuka setelah dua menit dari waktu azan shalat magrib. Sementara penghuni yang tinggal di tingkat 150 ke atas, diperbolehkan azan magrib dan isya’ lebih akhir tiga menit. Sementara penghuni yang tinggal di tingkat kurang dari tingkat 80, mereka berbuka sesuai dengan jadwal azan magrib di masjid. Silahkan melihat link berikut ini:

http://www.emaratalyoum.com/local-section/other/2011-08-06-1.414355
atau     http://www.aleqt.com/2011/08/06/article_566738.html
wallahu’alam.

Permasalahan seputar Puasa
tampilan di situs islamqa.info